Bukan sok idealis, tapi semata-mata aku merasa tidak dihargai. Jiwaku bukan di situ. Lantas terjunlah aku di dunia penerjemahan dokumen hukum hingga kini. Meskipun sempat masuk lagi ke dunia sinetron sebagai penulis skenario sinetron komedi (situation comedy) pada 2007, untuk kemudian mantap meninggalkannya.Â
Yang kedua, ini sebetulnya lebih karena minder, ketika seorang kawan menyodorkan pilihan jodoh lewat jalur ta'aruf. Seorang gadis yatim piatu dari keluarga mapan, keturunan Arab. Lulusan ITB (Institut Teknologi Bandung). Lebih muda dua tahun saja. Kabarnya ia juga mantan gadis sampul (cover girl) sebuah majalah wanita.
Hmm..kenapa ditolak?Â
Entahlah, aku hanya mengikuti alarm intuisiku saja.Â
Minder? Bisa jadi.Â
Lagipula aku tidak merasakan ada chemistry yang sama.
Sebagian temanku menertawaiku. "Ah, mau nikah aja repot banget!" ledek mereka.Â
Trauma? Mungkin juga.Â
Dulu kakekku, ayah dari bapakku, menikah dengan gadis keturunan Arab. Tapi karena perbedaan status sosial dan status ekonomi, mereka dipaksa bercerai dan meninggalkan seorang anak tunggal, yakni ayahku.Â
Setelah itu Nek Masenun (sebutanku untuk sang nenek yang tak pernah kulihat fotonya itu) dinikahkan dengan seorang yang "sekufu", setara derajatnya, setidaknya menurut anggapan ayah Nek Masenun.Â
Pilihan sang ayah adalah seorang saudagar kaya dari Arab Saudi. Namun pernikahan itu tidak lama, tidak berbuah anak jua. Demikian terus berulang hingga konon Nek Masenun menikah hingga tujuh kali sepanjang hidupnya, dan hanya mendapat dua anak (termasuk ayahku) dari seluruh perkawinan tersebut.