Tawa riuh berderai mengiringi akhir cerita Tarjo. Kantin kampus sore itu bertambah hingar bingar.Â
Tarjo baru saja menceritakan pengalamannya saat pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta. Ketika ia dikepung dan dirampok preman terminal bus kota.
"Jadi elo bener-bener pingsan waktu itu, Tar?" tanya Yono.
"Ya, jelaslah. Badannya aja segede kebo. Seng ada lawan, Coy!" tukas Tarjo. "Eh, Yon, awas lo jangan panggil kayak gitu lagi. Nama gue sekarang Joe, bukan Tarjo atau Tar. Panggil gue Joe. Okay, Man?"
"Oke deh, Joe!" koor yang lain. Disambut gelak tawa, sebagian karena logat bahasa Inggris Tarjo yang terwarnai dialek ngapak.Â
Tarjo tersenyum bangga, merasa sudah sah diterima sebagai warga ibu kota.Â
Tiba-tiba datang seorang pemuda ke tengah-tengah kumpulan mahasiswa yang nongkrong selepas jam kuliah itu. Rambutnya gondrong berikat karet gelang dan bertindik giwang di telinga kanan dan kiri.Â
Ia lantas mendatangi seorang mahasiswa yang duduk di bangku seberang Joe. Mereka berbisik-bisik serius. Sesekali melempar pandangan ke arah Joe. Beberapa lama kemudian Si Gondrong pergi setelah menepuk-nepuk bahu si mahasiswa.
"Si Baron ngapain, Don?" tanya Yono pada si mahasiswa.
Gendon tersenyum samar. "Biasalah, bisnis. Mau ngapain lagi!"Â