Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Berhentilah Menuntut Ilmu

23 Januari 2021   05:51 Diperbarui: 23 Januari 2021   05:54 1055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pinterest.com

Berhentilah menuntut ilmu.

Lho kok begitu? Kenapa?

Berhentilah menuntut ilmu, karena ilmu tidak bersalah.

Meme jenaka di jejaring media sosial tersebut membuat saya tergelak. Sang pembuat kicauan pastilah orang yang sangat kreatif. Ia jeli melihat kemungkinan penafsiran lain dari sebuah kata.

Meme itu, yang juga pernah dicuitkan di Twitter, mungkin tampaknya sepele tapi sebenarnya cukup menarik untuk diselisik dari sisi bahasa. 

Kenapa untuk "ilmu" digunakan kata "menuntut"? 

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tampaknya juga termaktub demikian.

Memang ada beberapa ungkapan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang tampaknya tidak sesuai nalar atau logika, namun lebih menekankan pada aspek stilisasi bahasa atau keresikan makna. Salah satunya adalalah "pulang pergi".

Beberapa penggiat bahasa, termasuk juga Ivan Lanin, menganggapnya tidak logis. Seharusnya yang tepat adalah "pergi pulang", demikian dalil mereka, karena sesuai dengan asas linearitas logika. 

Kendati sama-sama berlatar belakang eksakta seperti Ivan Lanin, sebagai praktisi penerjemahan yang kesehariannya bergelut dengan kata dan bahasa, saya cenderung membiarkan menerima ungkapan itu apa adanya, alih-alih mendekonstruksinya serta merekonstruksinya agar sesuai dengan apa yang kita pikir tepat dengan alur penalaran. 

Karena pada akhirnya bahasa bukanlah mesin atau rumus eksakta yang sepenuhnya berjalan dengan mekanisme mekanistik atau alur logika sistematis. Sejatinya ia hadir dengan wujud keberadaan dan keindahannya sendiri. Toh, tidak selalu yang tidak logis itu tidak indah. Dan juga tidak selalu keindahan itu senantiasa harus selaras dengan logika.

Nah, dalam rangka memahami keberadaan dan keindahan suatu ungkapan, termasuk frasa "menuntut ilmu", saya mencoba menyigi frasa tersebut.

Dari segi asal-usul kata alias etimologi, nampaknya frasa "menuntut ilmu" amat kental dipengaruhi oleh bahasa Arab, yang memang banyak mempengaruhi pembentukan kata dalam bahasa Indonesia modern yang bersumber dari rumpun bahasa Melayu. 

Remy Sylado, budayawan Indonesia yang juga poliglot, dalam buku 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing (Gramedia, Jakarta, 2003), menyebut bahwa kita sebagai pengguna bahasa Indonesia berutang kepada bahasa Arab, karena amatlah banyak kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab. Sedemikian banyaknya, sehingga kita tidak dapat membilangnya satu per satu, menurut Remy Sylado, yang menggunakan nama pena Alif Danya Munsyi dalam buku bernas tersebut.

"...Jika kita baca sebuah kamus bahasa Indonesia yang lengkap, niscaya dalam setiap lembar halaman, mulai dari a sampai z, akan kita dapati di situ sekurangnya lima kata serapan dari bahasa Arab," demikian catatan dari Remy Sylado pada hal. 27 dari buku tersebut dalam bab Arab Bawa Adab.

Dalam bahasa Arab, kata untuk "menuntut" adalah tholaba. Atau dalam shorof (tata bahasa Arab) dengan fi'il madhi (past tense), fi'il mudhori' (present continuous tense) dan fi'il 'amr (instruction), tholaba-yathlubu-uthlub (menuntut-tengah menuntut-tuntutlah).

Kata tholaba ini bermakna "meminta" atau "menuntut". Juga digunakan dalam pengertian "belajar". 

Dalam bahasa Arab, para pelajar atau mahasiswa disebut tholib atau thalibun. 

Itulah kenapa gerakan dakwah salafi di Afghanistan yang bertujuan mengembalikan kejayaan Islam di Afghanistan dengan model Islam Salafi (yang sering disalahpahami dengan menyebutnya Wahabi) disebut Taliban atau Thaliban. Gerakan tersebut didirikan dan berbasis di lembaga pendidikan di Pakistan, negara jiran Afghanistan yang juga negara tujuan utama pengungsi Afghanistan. 

Demikian juga sebagian besar penggerak dan pendukung Gerakan Taliban adalah kalangan pelajar atau mahasiswa (tholiban) asal Afghanistan yang belajar di madrasah atau perguruan tinggi Islam di Pakistan, dan termasuk membangun basis kekuatan di kawasan perbatasan Pakistan-Afganistan.

Para aktivis dan kombatan Taliban sebagian besar adalah anak-anak Afghanistan yang lahir dan besar di barak-barak pengungsian di Pakistan karena keluarga mereka terusir dari tanah kelahirannya sejak invasi Uni Soviet (sekarang Rusia) ke bumi Afghanistan pada tahun 1970-an. 

Dan pergolakan di Afghanistan hingga kini terus berlanjut (salah satu sebabnya karena pertarungan antarkelompok kombatan) setelah Uni Soviet hengkang dan bubar (dihantam gelombang Glasnost-Perestroika) hingga datangnya invasi pasukan koalisi internasional yang dipimpin Amerika Serikat setelah Insiden 11 September 2001 (September 11), ketika menara kembar WTC di Amerika Serikat ditubruk pesawat teroris hingga ambruk. Suatu peristiwa yang dijustifikasi oleh Amerika Serikat untuk menabuh genderang perang terorisme global.

Dalam variasi kata yang lain dari kata tholaba, sejarah emas perjuangan kemerdekaan Indonesia mencatat nama Sekolah Sumatera Thawalib di Sumatra Barat yang melahirkan ulama pejuang dan sastrawan sekaliber Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).

Dalam tataran filosofi kenegaraan, ilmu memang harus dituntut karena ilmu adalah hak asasi manusia (HAM). 

Dalam konstitusi di banyak negara di dunia, termasuk UUD 1945 di Indonesia, pendidikan dicantumkan sebagai hak asasi warganegara yang harus dipenuhi negara. Jika tidak, negara dianggap alpa dan lalai menjalankan kewajiban mendasar tersebut. 

Di Indonesia, sudah sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)pada 2004-2014, pemerintah Indonesia telah menetapkan angka 20 persen untuk anggaran pendidikan di APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). 

Meskipun sejatinya besaran tersebut juga mencakup biaya tetek-bengek lain seperti gaji guru dll, dan tidak sepenuhnya dikembalikan kepada siswa atau mahasiswa dalam bentuk fasilitas sekolah atau pengadaan buku pelajaran yang memadai.

Dalam tataran personal, ilmu memang harus dituntut setiap pribadi karena ilmu juga kewajiban asasi. 

Dalam agama Islam, misalnya, dijanjikan derajat tinggi di dunia dan akhirat untuk orang berilmu. Dan belajar ilmu pengetahuan apa pun adalah kewajiban tiap orang, lelaki dan perempuan, kaya atau miskin, tanpa pandang bulu atau jenis kelamin.

Jagakarsa, 23 Januari 2021

Baca Juga:

1. Contoh Draf Skenario Sitkom "The Coffee Bean Show"

2. Contoh "Storyline" dan Skenario Sinetron Komedi (Sitcom) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun