"Politician and diapers must be changed often, and for the same reason." (Mark Twain)
Kutipan sarkastis dari Mark Twain, sang novelis The Adventures of Tom Sawyer, tersebut kerap menemui kebenarannya dalam jagat perpolitikan Indonesia. Para politisi berganti, timbul dan tenggelam, dan alasannya pun sama. Entah itu karam karena korupsi atau karena berakhir masa kejayaannya.
Hanya para politisi dan partai politik yang telaten dan cerdas mengatur napas panjang yang mampu bertahan, entah dengan konsistensi, kekuatan ideologi atau kelihaian akal bulusnya. Karena sejatinya politik itu adalah perlombaan lari marathon, alih-alih pacuan sprint jarak pendek.
Di situlah, sebagai suatu entitas politik, Partai Demokrat yang kini dipimpin oleh bekas mayor TNI AD, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak terengah-engah dan kelelahan. Partai politik warisan dari sang ayah, jenderal purnawirawan TNI AD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tersebut belum mampu berbicara banyak dalam kancah perpolitikan kiwari selepas masa gemilang dua periode kepresidenan SBY (2004-2014).
Pernyataan terbaru SBY (kini penasihat Partai Demokrat) soal vaksinasi COVID-19 dan juga pidato AHY sebagai ketua umum Partai Demokrat tentang kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang mengkritisi peran pemerintah justru mengail respons negatif publik yang diwakili netizen atau warganet di media sosial. Hal ini terlepas dari keberhasilan garda pendengung (buzzer) profesional atau freelance dalam membendung setiap kritik terhadap pemerintah.
Di samping itu, Partai Demokrat (PD) saat ini, terbukti dalam berbagai survei, kalah mentereng popularitasnya dibandingkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam hal beroposisi terhadap pemerintahan Presiden Jokowi.Â
Sikap moderat atau "tengah-tengah" Partai Demokrat, yang merupakan ciri khas SBY semasa dua periode kepresidenannya, yang ditafsirkan publik sebagai sikap "abu-abu" dan tidak tegas berpihak pada rakyat. Merapat ke penguasa tidak, beroposisi pun setengah hati. Demikianlah yang dipersepsi publik.
Berbeda dengan PKS yang selama sedekade terakhir tegas dan bahkan cenderung keras beroposisi, terutama dalam hal revisi UU KPK dan Omnibus Law. Dan tampaknya kerja keras itu akan berbuah manis, mengingat dalam berbagai survei, partai kader yang kini punya logo baru itu diprediksi akan menangguk banyak suara pada pemilu 2024 karena konsistensi sikap oposannya.
Terlepas dari kebenaran sejatinya, demikianlah cerminan persepsi publik.Â
Wajar saja tho? Bukanlah politik itu adalah permainan persepsi dan citra? Kubu pemerintah dan Jokowi pun tampaknya menyadari betul aksioma tersebut, bahkan dengan lihai memanfaatkannya.
Dalam kerangka itulah, AHY sebagai ketua umum PD harus tampil pede (percaya diri) dan lebih berani demi mendongkrak citra partainya yang belakangan ini lebih terkesan sebagai SBY fans club yang menjelang bubar.
Bagaimanapun juga, sebagai politisi, AHY harus pandai membaca arah angin politik dan aspirasi publik.Â
Sebagaimana cerdiknya sang ayah, yang saat itu anak buah Presiden Megawati di kabinet, memanfaatkan momentum politik (perundungan oleh Taufiq Kiemas, suami presiden) dan aspirasi publik yang jenuh dengan kepemimpinan Megawati dan PDIP kala itu, terutama setelah melego saham Indosat kepada pihak asing.
Kecerdikan SBY saat itu adalah ijtihad politik yang gemilang. Sejujurnya pada masanya Partai Demokrat merupakan fenomena baru dalam dunia perpolitikan Indonesia.
Betapa tidak.
Sepanjang sejarah republik ini baru kali itu ada partai politik yang ruh dan ideologinya benar-benar mengandalkan figur sentral seorang tokoh. Suatu langkah yang belakangan diduplikasi oleh Prabowo Soebianto dengan Partai Gerindra, Wiranto dengan Partai Hanura, Surya Paloh dengan Nasdem, dan Hari Tanoesudibyo dengan Perindo.
Ketika pada pemilu 2004 para pengamat menjuluki Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat sebagai the rising stars (bintang yang naik daun) dengan raihan suara 7-8 persen, yang menempatkan kedua partai baru tersebut dalam posisi elite politik Indonesia, sejatinya hanya PKS (yang berasaskan Islam dan memiliki semangat perjuangan dakwah ala Masyumi) yang mewarisi jejak konstelasi perpolitikan tradisional Indonesia.
Partai Demokrat, dari sisi ideologi atau basis sosial, adalah fenomena baru yang merupakan anomali sejak pemilu pertama Republik Indonesia (RI) pada 1955.Â
Meskipun Partai Demokrat dalam berbagai kesempatan selalu menyatakan sebagai partai tengah yang berideologi nasionalisme-religius, sejatinya ideologi partai berlambang bintang Mercy ini hanya satu yakni (popularitas) SBY alias Susilo Bambang Yudhoyono, sang pendiri dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang belakangan diperkuat dengan posisinya sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode (2004-2014).
Soekarno semasa menjabat Presiden RI yang pertama, kendati tercatat sebagai pendiri dan tokoh penting PNI (Partai Nasional Indonesia), tidak pernah menyatakan secara resmi keterkaitannya dengan partai nasionalis terbesar di Indonesia pasca-kemerdekaan tersebut.
PNI juga mengusung ideologi Marhaenisme, yang menekankan keberpihakan kepada rakyat kecil, yang diambil dari nama seorang petani gurem yang ditemui Soekarno di daerah Jawa Barat. Konon ideologi ini diadaptasi Soekarno dari teori Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dan basis sosial PNI (sekaligus pendukung utama Soekarno) adalah kalangan nasionalis.
Soeharto sebagai presiden kedua RI, yang juga menempatkan diri sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, terkesan lebih lihai menjaga jarak antara posisi kepresidenannya dengan (Sekber) Golkar sebagai kekuatan politik yang menggabungkan unsur birokrat, militer (ABRI saat itu) dan kalangan profesional. Ideologi yang diusung entitas politik yang dulu emoh disebut 'parpol' adalah pembangunan dan kekaryaan.
Dengan demikian basis sosial Golkar (belakangan selepas Reformasi '98 bersalin rupa sebagai Partai Golkar) yang dibangun trah Cendana pun lebih jelas dan berakar.
Presiden-presiden selanjutnya pun serupa, memiliki basis sosial dan ideologi yang jelas.
Habibie (Golkar), Megawati (PDI-P yang merupakan partai nasionalis sebagai reinkarnasi PNI), Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (kalangan Islam NU). Tak heran meskipun Soekarno atau Soeharto jatuh karena pergolakan sosial, nasib mereka tak senista rezim Tsar Rusia yang dibantai habis dan segala hal yang berhubungan dengan mereka dibabat habis.Â
Demikian juga saat Megawati atau Gus Dur didemo, terutama jelang akhir masa kekuasaan mereka, ada saja kalangan nasionalis atau Nahdliyyin yang berani pasang badan bahkan berani mati demi membela mereka.
Di satu sisi, dengan uraian di atas, layak diacungkan jempol kepada SBY dan Partai Demokrat atas terobosan bersejarah mereka dalam kancah perpolitikan nasional (baik lewat kampanye pencitraan yang hebat dan operasi senyap yang gemilang) yang membuktikan bahwa seseorang tanpa basis sosial atau basis ideologi yang kuat pun bisa jadi presiden.Â
Kiat yang sama juga ditiru kubu Jokowi, yang sukses mengangkat Jokowi dari seorang pebisnis mebel dari kota kecil Solo menjadi orang nomor satu terkuat dalam perpolitikan Indonesia saat ini.
Dan memang Partai Demokrat dibangun oleh para fans SBY (Vence Rumangkang, Sys Ns, Irzan Tanjung dll) sebagai tombo ati (obat hati) bagi SBY yang saat itu dikalahkan Hamzah Haz dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam pemilihan wakil presiden di MPR pada Juli 2001.
Maka disiapkanlah pelipur lara yakni kendaraan politik istimewa bernama Partai Demokrat yang mengusung SBY sebagai calon presiden pada pemilu 2004. Dengan demikian tak lain tak bukan Partai Demokrat adalah sekadar kumpulan para fans (penggemar atau pemuja) SBY (SBY fans club).
Di sisi lain, andaikan yang terjadi di periode kepresidenan SBY saat itu adalah skenario terburuk bagi setiap rezim penguasa yakni kudeta atau revolusi sosial, apakah bisa dijamin kekuatan politik dan sosial yang ada dapat menjadi bantalan yang aman dan nyaman bagi SBY, Partai Demokrat dan keluarga Cikeas?
Nasionalis gamang, Muhammadiyah bukan, apalagi NU. Militer? Kalangan militer pun waktu itu tak satu padu menyikapi kebijakan-kebijakan SBY. Terbukti dengan pernyataan-pernyataan kalangan purnawirawan yang kerap berseberangan dengan SBY.
Alhasil, dengan meneropong basis sosial dan ideologi SBY, terang benderanglah seperti apa anatomi Partai Demokrat. Yakni figur partai yang tidak berakar (tanpa basis sosial kultural) dan berideologi pragmatis, yakni popularitas SBY.Â
Saat itu popularitas SBY, yang berimbas pada popularitas Partai Demokrat mengempis ditusuk-tusuk 'serbuan' pesan BBM (Black Berry Messenger) Nazaruddin (bendahara PD yang terlibat korupsi Hambalang) dan terpaan kasus-kasus lainnya.
Strategi SBY saat itu yang giat merangkul kawan dan lawan hingga terkesan menjadikan Partai Demokrat sebagai bunker koruptor dan para pelarian politik (Ruhut Sitompul dari Golkar atau Zaenal Ma'arif dari PBR, Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati dari KPU) pada akhirnya bagai bumerang yang berbalik menghantam diri dan partainya.
Kala itu sang nakhoda SBY, yang dapat diakui belajar dengan cukup baik dari mendiang Soeharto untuk strategi politik dan pencitraan namun naasnya tak didukung operator politik yang andal sekaliber Ali Moertopo dan Harmoko di zaman Orba, harus berjuang sendiri dan tangkas bermanuver untuk menyelamatkan perahu Demokrat yang terancam karam. Dan kini tonggak estafet kepartaian dan juga tanggung jawab teramat besar itu ada di tangan AHY, sang putera sulung SBY, yang menjabat sebagai ketua umum PD.Â
Dalam hal ini, Jokowi yang merupakan pengganti SBY, lebih beruntung karena punya operator politik kapabel setara Luhut Binsar Panjaitan (LBP), yang mantan perwira intelijen dan komandan pasukan khusus, yang sigap menjadi bumpernya dan cergas mengonsolidasikan kekuasaan rezim penguasa, termasuk menggalang keterpaduan TNI Polri, elemen sukarelawan, sebagian lapisan masyarakat sipil serta birokrat.
Waktu dan sejarah politik Indonesia telah membuktikan bahwa "para penumpang" di Partai Demokrat atau kubu SBY yang notabene adalah penggemar (fans), yang keterikatan emosional dan loyalitasnya jelas berbeda dengan aktivis, jelas tidak mungkin diandalkan untuk pasang badan atau menderita pejah gesang demi sang idola yang memudar pamornya selepas tak lagi menjabat sebagai presiden.
Tinggallah sang putera sulung SBY yakni AHY yang harus putar otak demi mencegah Partai Demokrat kelelep di pemilu 2024, entah dengan mengonversi SBY Fans Club menjadi AHY Fans Club (dengan memanfaatkan faktor usia muda dan gaya milenial) maupun melalui jalur ketegasan beroposisi sebagaimana yang dilakukan oleh PKS yang kini menjadi the lone ranger sebagai oposan.
Syahdan, pelajaran dari memudarnya citra SBY dan Partai Demokrat sejatinya juga merupakan sinyal dan peringatan bagi kubu Jokowi bahwa kekuasaan itu tidak langgeng, tidak abadi, dan senantiasa akan berganti. Lebih-lebih jika amanah kekuasaan yang ada di genggaman tidak digunakan untuk kemaslahatan rakyat dengan bertanggung jawab dan dengan sebaik-baiknya.
Jagakarsa, 21 Januari 2021
Baca Juga:Â Contoh "Storyline" dan Skenario Sinetron Komedi (Sitcom)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H