Dalam kerangka itulah, AHY sebagai ketua umum PD harus tampil pede (percaya diri) dan lebih berani demi mendongkrak citra partainya yang belakangan ini lebih terkesan sebagai SBY fans club yang menjelang bubar.
Bagaimanapun juga, sebagai politisi, AHY harus pandai membaca arah angin politik dan aspirasi publik.Â
Sebagaimana cerdiknya sang ayah, yang saat itu anak buah Presiden Megawati di kabinet, memanfaatkan momentum politik (perundungan oleh Taufiq Kiemas, suami presiden) dan aspirasi publik yang jenuh dengan kepemimpinan Megawati dan PDIP kala itu, terutama setelah melego saham Indosat kepada pihak asing.
Kecerdikan SBY saat itu adalah ijtihad politik yang gemilang. Sejujurnya pada masanya Partai Demokrat merupakan fenomena baru dalam dunia perpolitikan Indonesia.
Betapa tidak.
Sepanjang sejarah republik ini baru kali itu ada partai politik yang ruh dan ideologinya benar-benar mengandalkan figur sentral seorang tokoh. Suatu langkah yang belakangan diduplikasi oleh Prabowo Soebianto dengan Partai Gerindra, Wiranto dengan Partai Hanura, Surya Paloh dengan Nasdem, dan Hari Tanoesudibyo dengan Perindo.
Ketika pada pemilu 2004 para pengamat menjuluki Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat sebagai the rising stars (bintang yang naik daun) dengan raihan suara 7-8 persen, yang menempatkan kedua partai baru tersebut dalam posisi elite politik Indonesia, sejatinya hanya PKS (yang berasaskan Islam dan memiliki semangat perjuangan dakwah ala Masyumi) yang mewarisi jejak konstelasi perpolitikan tradisional Indonesia.
Partai Demokrat, dari sisi ideologi atau basis sosial, adalah fenomena baru yang merupakan anomali sejak pemilu pertama Republik Indonesia (RI) pada 1955.Â
Meskipun Partai Demokrat dalam berbagai kesempatan selalu menyatakan sebagai partai tengah yang berideologi nasionalisme-religius, sejatinya ideologi partai berlambang bintang Mercy ini hanya satu yakni (popularitas) SBY alias Susilo Bambang Yudhoyono, sang pendiri dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang belakangan diperkuat dengan posisinya sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode (2004-2014).
Soekarno semasa menjabat Presiden RI yang pertama, kendati tercatat sebagai pendiri dan tokoh penting PNI (Partai Nasional Indonesia), tidak pernah menyatakan secara resmi keterkaitannya dengan partai nasionalis terbesar di Indonesia pasca-kemerdekaan tersebut.
PNI juga mengusung ideologi Marhaenisme, yang menekankan keberpihakan kepada rakyat kecil, yang diambil dari nama seorang petani gurem yang ditemui Soekarno di daerah Jawa Barat. Konon ideologi ini diadaptasi Soekarno dari teori Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dan basis sosial PNI (sekaligus pendukung utama Soekarno) adalah kalangan nasionalis.