Soeharto sebagai presiden kedua RI, yang juga menempatkan diri sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, terkesan lebih lihai menjaga jarak antara posisi kepresidenannya dengan (Sekber) Golkar sebagai kekuatan politik yang menggabungkan unsur birokrat, militer (ABRI saat itu) dan kalangan profesional. Ideologi yang diusung entitas politik yang dulu emoh disebut 'parpol' adalah pembangunan dan kekaryaan.
Dengan demikian basis sosial Golkar (belakangan selepas Reformasi '98 bersalin rupa sebagai Partai Golkar) yang dibangun trah Cendana pun lebih jelas dan berakar.
Presiden-presiden selanjutnya pun serupa, memiliki basis sosial dan ideologi yang jelas.
Habibie (Golkar), Megawati (PDI-P yang merupakan partai nasionalis sebagai reinkarnasi PNI), Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (kalangan Islam NU). Tak heran meskipun Soekarno atau Soeharto jatuh karena pergolakan sosial, nasib mereka tak senista rezim Tsar Rusia yang dibantai habis dan segala hal yang berhubungan dengan mereka dibabat habis.Â
Demikian juga saat Megawati atau Gus Dur didemo, terutama jelang akhir masa kekuasaan mereka, ada saja kalangan nasionalis atau Nahdliyyin yang berani pasang badan bahkan berani mati demi membela mereka.
Di satu sisi, dengan uraian di atas, layak diacungkan jempol kepada SBY dan Partai Demokrat atas terobosan bersejarah mereka dalam kancah perpolitikan nasional (baik lewat kampanye pencitraan yang hebat dan operasi senyap yang gemilang) yang membuktikan bahwa seseorang tanpa basis sosial atau basis ideologi yang kuat pun bisa jadi presiden.Â
Kiat yang sama juga ditiru kubu Jokowi, yang sukses mengangkat Jokowi dari seorang pebisnis mebel dari kota kecil Solo menjadi orang nomor satu terkuat dalam perpolitikan Indonesia saat ini.
Dan memang Partai Demokrat dibangun oleh para fans SBY (Vence Rumangkang, Sys Ns, Irzan Tanjung dll) sebagai tombo ati (obat hati) bagi SBY yang saat itu dikalahkan Hamzah Haz dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam pemilihan wakil presiden di MPR pada Juli 2001.
Maka disiapkanlah pelipur lara yakni kendaraan politik istimewa bernama Partai Demokrat yang mengusung SBY sebagai calon presiden pada pemilu 2004. Dengan demikian tak lain tak bukan Partai Demokrat adalah sekadar kumpulan para fans (penggemar atau pemuja) SBY (SBY fans club).
Di sisi lain, andaikan yang terjadi di periode kepresidenan SBY saat itu adalah skenario terburuk bagi setiap rezim penguasa yakni kudeta atau revolusi sosial, apakah bisa dijamin kekuatan politik dan sosial yang ada dapat menjadi bantalan yang aman dan nyaman bagi SBY, Partai Demokrat dan keluarga Cikeas?
Nasionalis gamang, Muhammadiyah bukan, apalagi NU. Militer? Kalangan militer pun waktu itu tak satu padu menyikapi kebijakan-kebijakan SBY. Terbukti dengan pernyataan-pernyataan kalangan purnawirawan yang kerap berseberangan dengan SBY.