Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Secuplik Cerita Penyintas Banjir Jakarta

12 Januari 2021   23:32 Diperbarui: 7 Desember 2021   06:08 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai bagian dari komunitas Betawi Jakarta, yang merupakan penduduk asli ibu kota negara Indonesia, banjir adalah fenomena alam di Jakarta yang saya akrabi sejak masa kecil saya di era akhir 70-an dan 80-an.

Bahkan, jauh lebih lama lagi, banjir sudah akrab dengan warga Jakarta sejak kota Jakarta masih bernama Batavia dan di bawah kendali administrasi penjajah Belanda sejak ratusan tahun silam.

Kata "banjir" pun sudah masuk dalam kosakata bahasa Belanda dalam bentuk serapan sebagai "bandjir" (Kamus Umum Belanda-Indonesia yang disusun Prof. Drs. S. Wojowasito, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999).

Namun, menurut pengamatan saya, ada perbedaan intensitas banjir berdasarkan periodisasi waktu. Setidaknya berdasarkan pengalaman hidup saya sebagai warga Jakarta yang tinggal di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.

Sebelum era 90-an, yang namanya "banjir" itu hanya berupa luapan air Kali Ciliwung dua-tiga kali tingginya dan paling banter meluber hingga sekitar lima puluh meter dari bantaran kali. Tidak sampai mencapai rumah saya yang jaraknya sekitar 200 meter dari tepian kali.

Di era itu, belum banyak pemukiman di pinggir kali. Lebih banyak berupa rumpun bambu dan kebun buah milik warga, seperti kebun duku, rambutan, nangka atau kebun pisang.

Namun, di akhir era 90-an, tepatnya pada awal Januari 1996, itulah pertama kalinya luapan air Kali Ciliwung merambah area sekitar rumah saya dan lebih jauh lagi hingga sekitar 1 kilometer dari tepian kali. Di dalam rumah saya sendiri, ketinggian air mencapai 1,5 meter.

Di tahun itu juga pertama kalinya, semasa Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, Istana Merdeka kebanjiran sebatas paha orang dewasa. Wilayah sakral tersebut seakan ternoda dengan jilatan air kecokelatan Kali Ciliwung yang bertandang datang.

Konon kabarnya gubernur DKI Jakarta saat itu, yang waktu itu masih dipilih oleh anggota DPRD yang konon berdasarkan arahan dari presiden, Jenderal purnawirawan Soerjadi Soedirja sampai dipanggil langsung ke Istana oleh Pak Harto dan didamprat habis-habisan karena dianggap lalai menjalankan tugas. Itulah kabar burung yang beredar saat itu. Entahlah tentang validitas kebenarannya.

Selepas Reformasi 1998, Orba sudah tumbang dan Pak Harto telah lengser keprabon, banjir bandang kembali melanda pada awal Februari 2007. Kabarnya banjir 2007 adalah bagian dari siklus besar banjir 1996.

Pada tahun 2002 dan 2005 sebetulnya juga datang banjir yang merendam rumah saya. Kabarnya merupakan bagian dari siklus kecil, dan tingginya hanya sebatas betis orang dewasa. 

Dan banjir 2007 adalah yang terdahsyat dari segi intensitas dan dampak kerugian. Saat itu sekitar 70 persen wilayah DKI Jakarta terendam banjir dan ribuan orang mengungsi. Terutama di kawasan Kampung Melayu, yang selalu menjadi fokus pemberitaan media di kala banjir, yang letaknya sekitar lima kilometer dari domisili saya.

Rumah saya sendiri di Pancoran terendam air setinggi atap rumah, sekitar tiga meter dalamnya. Koleksi buku saya yang ketika itu sebanyak 5000 judul buku musnah sudah. Juga sebagian dokumen penting ikut rusak, seperti ijazah. Termasuk juga aset-aset biro penerjemahan yang waktu itu tengah saya jalankan di rumah saya, seperti personal computer (PC), printer, koleksi kamus, kendaraan bermotor dll.

Banjir bandang itu juga yang "menggagalkan" rencana pinangan saya yang semula dijadwalkan pada akhir Februari 2007.

Alhamdulillah, pinangan hanya mundur sekian bulan ke belakang. Pinangan atau khitbah akhirnya dapat diselenggarakan pada Juni 2007 serta akad nikah dan resepsi pernikahan (walimatul 'ursy) dilangsungkan pada akhir Desember 2007.

Namun, di atas semua itu, saya tetap harus bersyukur, kendati menderita kerugian puluhan juta rupiah, bahwa saya dan keluarga besar saya masih selamat dari musibah banjir tersebut. Dapatlah dikatakan, entah harus bangga atau sedih, saya ini korban selamat atau penyintas (survivor) banjir bandang Jakarta.

Setelah menikah pada akhir 2007, saya memutuskan menetap di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, yang jaraknya sepuluh kilometeran dari rumah orang tua saya di Pancoran. Sebagai daerah yang relatif lebih tinggi datarannya, Lenteng Agung, dan juga Jagakarsa yang berdekatan, relatif aman dari banjir.

Selepas kepindahan saya, beberapa kali banjir besar menerpa rumah orang tua saya yang sampai kini didiami oleh kakak dan adik saya yang telah berkeluarga. Antara lain pada 2012, 2015 dan 2017. Namun intensitas dan ketinggiannya tidaklah separah pada tahun 1996 dan 2007. 

Hal ini tidak lepas dari kontribusi proyek sodetan serta normalisasi (atau "naturalisasi" dalam istilah Gubernur Anies) Kali Ciliwung dan pengerukan Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur yang dimulai sejak era Gubernur Fauzi Bowo dan dilanjutkan para penerusnya secara berkelanjutan, yakni Jokowi, Ahok, Djarot dan Anies Baswedan.

Namun, siapa pun gubernurnya, dari latar belakang apa pun, DKI Jakarta tidak bakal mampu mengatasi atau memitigasi persoalan banjir sendirian tanpa peran serta secara integratif dari kawasan pendukung Jakarta, yang lazim disebut kawasan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Karena letak Jakarta yang merupakan dataran rendah dan muara Kali Ciliwung dan 12 anak sungainya, kelestarian alam di wilayah hulu Kali Ciliwung yang terletak di Bogor, Jawa Barat, tentu penting juga diperhatikan bersama.

Konsep Megapolitan dan The Greater Jakarta

Jika saja dahulu konsep Megapolitan yang diajukan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso (1997-2007) pada 2006 disetujui pemerintah pusat, mungkin saja penanganan banjir Jakarta, lebih tepatnya Jabodetabek, akan lebih cepat dimitigasi dan diatasi secara terintegrasi. 

Tidak seruwet saat ini dengan pelbagai kewenangan antarkepala daerah yang terkadang tumpang tindih, termasuk juga overlapping dengan badan pemerintahan di bawah pemerintah pusat, seperti halnya pengaturan otoritas penanganan Kali Ciliwung dan anak sungainya yang tidak seluruhnya di bawah kendali kepala daerah.

Dalam konsep Sutiyoso yang juga mantan Pangdam Jaya tersebut, yang tentunya berdasarkan kajian tim ahlinya, Megapolitan adalah konsep kesatuan ruang Jabodetabek ditambah Puncak dan Cianjur (Jawa Barat) di bawah koordinasi seorang menteri khusus yang membawahi para gubernur dan wali kota atau bupati di kawasan yang terkait.

Saat itu Gubernur Sutiyoso mengambil contoh ibu kota Inggris yakni London dan kawasan sekitarnya, termasuk juga Sungai Thames, yang juga berada di bawah koordinasi menteri khusus selain wali kota London sebagai pemimpin wilayah.

Alhasil, dengan adanya keterpaduan koordinasi tersebut, integrasi pembangunan dan gerak langkah Megapolitan akan lebih mandiri, cepat dan terkoordinasi. Contohnya, perluasan jalur bus Trans-Jakarta atau Busway hingga wilayah Jabodetabek-Puncur dan juga penanganan banjir Jakarta.

Namun tampaknya tiada gayung bersambut dan konsep Megapolitan pun lambat laun meredup dari diskursus publik. Konon kabarnya karena Sutiyoso dianggap kelewat ambisius untuk menjadi menteri khusus otorita Megapolitan tersebut sehingga banyak ditentang kalangan politisi di masa itu.

Belakangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri pada 2011 melontarkan wacana yang serupa dengan konsep Megapolitan yang dikemas dalam visi The Greater Jakarta (Jakarta Raya).

Perbedaannya, wilayah cakupan penyangga DKI Jakarta dalam konsep The Greater Jakarta diperluas hingga Sukabumi, Purwakarta, dan Cirebon. Juga, tidak ada posisi menteri khusus atau menteri otorita Jabodetabek yang bertanggung jawab untuk mengoordinasikan wilayah DKI Jakarta dan berbagai kota satelit serta kawasan penyangganya.

Setelah ramai sejenak, konsep itu juga menghilang ditelan riuh rendah pro-kontra di ruang publik.

Apa yang harus dilakukan saat banjir melanda?

Yang pertama sekali, jangan panik. Kepanikan dan kecemasan, secara psikologis, akan memperlambat kerja otak. 

Alhasil, banyak orang yang mendadak bego atau speechless, terduduk lemas saat terpukul melihat arus banjir datang. Itulah yang saya amati dan alami saat banjir 1996 dan 2007. Yang tidak kuat mental, seperti beberapa tetangga saya, biasanya mengalami gangguan jiwa, ringan atau berat. Di sinilah faktor ketenangan dan keikhlasan berperan besar. 

Bagaimanapun, kendati kita sudah bersiap-siap, bencana adalah takdir Tuhan, qodarullah, yang harus diterima dengan sabar dan ikhlas.

Dan jika rumah kita terletak di wilayah rawan banjir, seyogianya sudah bersiap-siap melakukan langkah-langkah persiapan prabanjir, seperti mengamankan dokumen-dokumen penting seperti kartu keluarga, ijazah, akta lahir, surat nikah, surat tanah, dll. 

Jika perlu, tempatkan semua dokumen itu dalam satu tempat khusus di tempat terjangkau,seperti tas ransel, yang jika banjir datang, langsung dapat dibawa. 

Lebih bagus lagi jika semua dokumen tersebut digitalisasi atau dibuatkan versi PDF atau scanned copy sehingga kita punya backup (cadangan) seandainya dokumen aslinya mengalami kerusakan atau hilang. 

Pastikan juga dokumen aslinya dilaminasi (laminating) sehingga mencegah kerusakan atau menahan kerusakan lebih parah jika terpaksa terendam air.

Yang kedua, buatlah rencana kedaruratan (emergency plan). 

Skema rencana kedaruratan, yang seyogianya sudah kita persiapkan sebelum kedatangan banjir, mencakup: catatan nomor kontak pihak yang dapat dimintai pertolongan secepatnya, SOP (Standard Operating Procedure) saat banjir datang (seperti mengungsikan balita, dokumen dan kendaraan bermotor terlebih dahulu dll), dan daftar barang prioritas yang harus dibawa saat mengungsi seperti charger (pengisi daya), ponsel, laptop (jika untuk keperluan kerja), uang tunai dan bahan makanan secukupnya. 

Terlebih lagi jika kita masih punya bayi atau balita, prioritaskan keperluan pokok mereka, seperti baju ganti, susu, atau popok.

Yang ketiga, selalu berkoordinasi dengan tetangga atau pihak pemerintahan setempat seperti RT, RW atau kelurahan untuk info banjir dll. 

Di saat bencana seperti itulah, pentingnya kebersamaan dalam lingkaran besar pertetanggaan menjadi bermakna. 

Karena air banjir tidak mengenal rumah gedongan atau rumah gubuk, semuanya akan dimasukinya. Dan tetangga adalah pihak pertama yang pasti akan kita mintai pertolongan, sekiranya kita terjebak banjir atau sewaktu kehabisan bahan makanan jika kita memutuskan tidak ikut mengungsi.

Yang keempat, yang terakhir, jangan lupa berdoa. Sertakan Tuhan dalam setiap helaan napas kita, dan dalam segala urusan kita. 

Karena sematang apa pun persiapan kita, sangatlah takabur jika kita merasa itu sudah cukup dan akan berhasil menyelamatkan kita. 

Manusia berusaha, Tuhan jua yang menentukan, selamat atau tidak dan hidup matinya kita. Kita ini hanya ibarat sejentik anai-anai di tangan Yang Maha Kuasa.

Jagakarsa, 12 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun