Tidak seruwet saat ini dengan pelbagai kewenangan antarkepala daerah yang terkadang tumpang tindih, termasuk juga overlapping dengan badan pemerintahan di bawah pemerintah pusat, seperti halnya pengaturan otoritas penanganan Kali Ciliwung dan anak sungainya yang tidak seluruhnya di bawah kendali kepala daerah.
Dalam konsep Sutiyoso yang juga mantan Pangdam Jaya tersebut, yang tentunya berdasarkan kajian tim ahlinya, Megapolitan adalah konsep kesatuan ruang Jabodetabek ditambah Puncak dan Cianjur (Jawa Barat) di bawah koordinasi seorang menteri khusus yang membawahi para gubernur dan wali kota atau bupati di kawasan yang terkait.
Saat itu Gubernur Sutiyoso mengambil contoh ibu kota Inggris yakni London dan kawasan sekitarnya, termasuk juga Sungai Thames, yang juga berada di bawah koordinasi menteri khusus selain wali kota London sebagai pemimpin wilayah.
Alhasil, dengan adanya keterpaduan koordinasi tersebut, integrasi pembangunan dan gerak langkah Megapolitan akan lebih mandiri, cepat dan terkoordinasi. Contohnya, perluasan jalur bus Trans-Jakarta atau Busway hingga wilayah Jabodetabek-Puncur dan juga penanganan banjir Jakarta.
Namun tampaknya tiada gayung bersambut dan konsep Megapolitan pun lambat laun meredup dari diskursus publik. Konon kabarnya karena Sutiyoso dianggap kelewat ambisius untuk menjadi menteri khusus otorita Megapolitan tersebut sehingga banyak ditentang kalangan politisi di masa itu.
Belakangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri pada 2011 melontarkan wacana yang serupa dengan konsep Megapolitan yang dikemas dalam visi The Greater Jakarta (Jakarta Raya).
Perbedaannya, wilayah cakupan penyangga DKI Jakarta dalam konsep The Greater Jakarta diperluas hingga Sukabumi, Purwakarta, dan Cirebon. Juga, tidak ada posisi menteri khusus atau menteri otorita Jabodetabek yang bertanggung jawab untuk mengoordinasikan wilayah DKI Jakarta dan berbagai kota satelit serta kawasan penyangganya.
Setelah ramai sejenak, konsep itu juga menghilang ditelan riuh rendah pro-kontra di ruang publik.
Apa yang harus dilakukan saat banjir melanda?
Yang pertama sekali, jangan panik. Kepanikan dan kecemasan, secara psikologis, akan memperlambat kerja otak.Â
Alhasil, banyak orang yang mendadak bego atau speechless, terduduk lemas saat terpukul melihat arus banjir datang. Itulah yang saya amati dan alami saat banjir 1996 dan 2007. Yang tidak kuat mental, seperti beberapa tetangga saya, biasanya mengalami gangguan jiwa, ringan atau berat. Di sinilah faktor ketenangan dan keikhlasan berperan besar.Â