Dan banjir 2007 adalah yang terdahsyat dari segi intensitas dan dampak kerugian. Saat itu sekitar 70 persen wilayah DKI Jakarta terendam banjir dan ribuan orang mengungsi. Terutama di kawasan Kampung Melayu, yang selalu menjadi fokus pemberitaan media di kala banjir, yang letaknya sekitar lima kilometer dari domisili saya.
Rumah saya sendiri di Pancoran terendam air setinggi atap rumah, sekitar tiga meter dalamnya. Koleksi buku saya yang ketika itu sebanyak 5000 judul buku musnah sudah. Juga sebagian dokumen penting ikut rusak, seperti ijazah. Termasuk juga aset-aset biro penerjemahan yang waktu itu tengah saya jalankan di rumah saya, seperti personal computer (PC), printer, koleksi kamus, kendaraan bermotor dll.
Banjir bandang itu juga yang "menggagalkan" rencana pinangan saya yang semula dijadwalkan pada akhir Februari 2007.
Alhamdulillah, pinangan hanya mundur sekian bulan ke belakang. Pinangan atau khitbah akhirnya dapat diselenggarakan pada Juni 2007 serta akad nikah dan resepsi pernikahan (walimatul 'ursy) dilangsungkan pada akhir Desember 2007.
Namun, di atas semua itu, saya tetap harus bersyukur, kendati menderita kerugian puluhan juta rupiah, bahwa saya dan keluarga besar saya masih selamat dari musibah banjir tersebut. Dapatlah dikatakan, entah harus bangga atau sedih, saya ini korban selamat atau penyintas (survivor) banjir bandang Jakarta.
Setelah menikah pada akhir 2007, saya memutuskan menetap di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, yang jaraknya sepuluh kilometeran dari rumah orang tua saya di Pancoran. Sebagai daerah yang relatif lebih tinggi datarannya, Lenteng Agung, dan juga Jagakarsa yang berdekatan, relatif aman dari banjir.
Selepas kepindahan saya, beberapa kali banjir besar menerpa rumah orang tua saya yang sampai kini didiami oleh kakak dan adik saya yang telah berkeluarga. Antara lain pada 2012, 2015 dan 2017. Namun intensitas dan ketinggiannya tidaklah separah pada tahun 1996 dan 2007.Â
Hal ini tidak lepas dari kontribusi proyek sodetan serta normalisasi (atau "naturalisasi" dalam istilah Gubernur Anies) Kali Ciliwung dan pengerukan Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur yang dimulai sejak era Gubernur Fauzi Bowo dan dilanjutkan para penerusnya secara berkelanjutan, yakni Jokowi, Ahok, Djarot dan Anies Baswedan.
Namun, siapa pun gubernurnya, dari latar belakang apa pun, DKI Jakarta tidak bakal mampu mengatasi atau memitigasi persoalan banjir sendirian tanpa peran serta secara integratif dari kawasan pendukung Jakarta, yang lazim disebut kawasan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Karena letak Jakarta yang merupakan dataran rendah dan muara Kali Ciliwung dan 12 anak sungainya, kelestarian alam di wilayah hulu Kali Ciliwung yang terletak di Bogor, Jawa Barat, tentu penting juga diperhatikan bersama.
Konsep Megapolitan dan The Greater Jakarta
Jika saja dahulu konsep Megapolitan yang diajukan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso (1997-2007) pada 2006 disetujui pemerintah pusat, mungkin saja penanganan banjir Jakarta, lebih tepatnya Jabodetabek, akan lebih cepat dimitigasi dan diatasi secara terintegrasi.Â