Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Secuplik Cerita Penyintas Banjir Jakarta

12 Januari 2021   23:32 Diperbarui: 7 Desember 2021   06:08 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai Ciliwung di sekitar Jalan Raya Kalibata meluap dan menyebabkan banjir yang merendam rumah warga di Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (26/4/2019). Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta mencatat ada 17 titik di DKI Jakarta terendam banjir pada Jumat (26/4/2019) pagi akibat luapan Sungai Ciliwung (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Sebagai bagian dari komunitas Betawi Jakarta, yang merupakan penduduk asli ibu kota negara Indonesia, banjir adalah fenomena alam di Jakarta yang saya akrabi sejak masa kecil saya di era akhir 70-an dan 80-an.

Bahkan, jauh lebih lama lagi, banjir sudah akrab dengan warga Jakarta sejak kota Jakarta masih bernama Batavia dan di bawah kendali administrasi penjajah Belanda sejak ratusan tahun silam.

Kata "banjir" pun sudah masuk dalam kosakata bahasa Belanda dalam bentuk serapan sebagai "bandjir" (Kamus Umum Belanda-Indonesia yang disusun Prof. Drs. S. Wojowasito, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999).

Namun, menurut pengamatan saya, ada perbedaan intensitas banjir berdasarkan periodisasi waktu. Setidaknya berdasarkan pengalaman hidup saya sebagai warga Jakarta yang tinggal di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.

Sebelum era 90-an, yang namanya "banjir" itu hanya berupa luapan air Kali Ciliwung dua-tiga kali tingginya dan paling banter meluber hingga sekitar lima puluh meter dari bantaran kali. Tidak sampai mencapai rumah saya yang jaraknya sekitar 200 meter dari tepian kali.

Di era itu, belum banyak pemukiman di pinggir kali. Lebih banyak berupa rumpun bambu dan kebun buah milik warga, seperti kebun duku, rambutan, nangka atau kebun pisang.

Namun, di akhir era 90-an, tepatnya pada awal Januari 1996, itulah pertama kalinya luapan air Kali Ciliwung merambah area sekitar rumah saya dan lebih jauh lagi hingga sekitar 1 kilometer dari tepian kali. Di dalam rumah saya sendiri, ketinggian air mencapai 1,5 meter.

Di tahun itu juga pertama kalinya, semasa Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, Istana Merdeka kebanjiran sebatas paha orang dewasa. Wilayah sakral tersebut seakan ternoda dengan jilatan air kecokelatan Kali Ciliwung yang bertandang datang.

Konon kabarnya gubernur DKI Jakarta saat itu, yang waktu itu masih dipilih oleh anggota DPRD yang konon berdasarkan arahan dari presiden, Jenderal purnawirawan Soerjadi Soedirja sampai dipanggil langsung ke Istana oleh Pak Harto dan didamprat habis-habisan karena dianggap lalai menjalankan tugas. Itulah kabar burung yang beredar saat itu. Entahlah tentang validitas kebenarannya.

Selepas Reformasi 1998, Orba sudah tumbang dan Pak Harto telah lengser keprabon, banjir bandang kembali melanda pada awal Februari 2007. Kabarnya banjir 2007 adalah bagian dari siklus besar banjir 1996.

Pada tahun 2002 dan 2005 sebetulnya juga datang banjir yang merendam rumah saya. Kabarnya merupakan bagian dari siklus kecil, dan tingginya hanya sebatas betis orang dewasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun