Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersahabat Kembali dengan Ayam dan Telur

7 Januari 2021   23:41 Diperbarui: 8 Januari 2021   14:29 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ayam dan telur/Sumber: istock.com

Dulu, semasa saya masih di Sekolah Dasar (SD), keluarga saya pernah memelihara ayam kampung atau yang sering disebut juga "ayam bukan ras" (buras). Kandangnya persis di samping rumah.

Itu suatu hal yang lazim di kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) di era 80-90an. Di era itu, banyak keluarga yang punya ayam piaraan, yang daging dan telurnya dapat dikonsumsi untuk keperluan sendiri. Jika berlebih, barulah dijual.

Saat itu ayam broiler (ayam petelur), yang sering disebut "ayam negeri" atau ayam ras, belum banyak dikenal. Di kawasan Jakarta, Bob Sadino, sang taipan dengan jejaring gerai Kemchicks, juga baru memulai bisnis beternak ayam broiler di era 80-an di Kemang, Jakarta Selatan. Hingga bisnisnya membesar sampai saat ini.

Syahdan, sebagai anak zaman itu, saya cukup akrab bersahabat dengan ayam.

Karena sering kebagian tugas merawat ayam, saya lumayan paham apabila ayam-ayam kami terindikasi sakit. Bulunya rontok, badannya gemetar atau sekadar meringkuk di pojok kandang. Jika telat ditangani, tersisa bangkai ayam yang mati dirubungi kerumunan lalat.

Demikian juga saya cukup sedih jika pagi-pagi mendapati ada ayam yang hilang dimangsa musang atau ular. Jika pun bangkainya disisakan, umumnya terkapar mati dengan perut bolong, dan isi perutnya hilang.

Juga, jika saatnya ayam bertelur, kesal rasanya jika mendapati telur yang gagal menetas, dan berubah jadi telor tembuhuk atau telur busuk. Baunya menyengat sangat. Jika sedang iseng, telur semacam itu bisa menjadi amunisi ampuh untuk main perang-perangan dengan teman.

Alhasil, saya tertawa ngakak ketika kampanye pemilu 1999 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (saat itu sebagai ketua parpol), dalam sebuah gelar wicara (talkshow) TV, melontarkan celetukan yang menyindir parpol lain pesaing partainya yang sama-sama berasal dari Nahdlatul Ulama (NU), "Ayam jika bertelur yang keluar itu bukan hanya telur, tapi juga yang lain."

Apabila ayam bertelur, selain telur yang dihasilkan, juga ada tahi ayam yang keluar menyertai telur. Dan, sebagai pemiara ayam, itu tugas saya untuk membersihkan telur dari kotoran yang menyelimutinya.

Hingga awal warsa 2000-an, di kawasan Jabodetabek, masih banyak dijumpai ayam-ayam kampung piaraan yang berkeliaran cari makan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun