Tapi ketika flu burung (avian influenza) menyerang dunia pada medio 2000-an, yang diduga salah satu sumbernya adalah unggas, ramai dilakukan penertiban kandang-kandang ayam di tengah kota. Tidak boleh lagi memiara ayam di dalam kota. Ayam piaraan yang ada sebagian dibakar dengan insentif ganti rugi dari pemerintah. Untuk peternakan-peternakan besar, direlokasi ke pinggiran kota.
Itu sebenarnya bukan faktor tunggal berkurangnya populasi ayam piaraan. Selain dianggap mengganggu kenyamanan bertetangga, dengan bau kotoran yang menyengat, juga faktor kebersihan. Maklumlah, seiring perkembangan Jabodetabek, pemukiman kian memadat, penduduk bertambah, lahan menyempit, dan ayam-ayam piaraan pun harus mengalah.
Kenapa tidak makan ayam dan telur?
Entahlah apakah berkurangnya populasi ayam piaraan di dalam kota berkorelasi dengan menurunnya tingkat konsumsi daging ayam dan telur di kawasan Jabodetabek. Karena pada faktanya kebutuhan pasokan daging ayam dan telur untuk Jabodetabek sebagian besar dipasok dari luar Jabodetabek, yang tentu berpengaruh pada harga daging ayam dan telur yang terkait dengan anggaran yang lebih besar yang harus dikeluarkan setiap keluarga.
Jika diproyeksikan secara nasional, kawasan Jabodetabek yang merupakan sentra ekonomi utama di Indonesia dengan 70 persen perputaran uang nasional di kawasan tersebut adalah cerminan secara kasar atas tren tingkat konsumsi daging ayam dan telur secara nasional.
Berdasarkan hasil Survei Konsumsi Bahan Pokok (VKBP) 2017 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat konsumsi daging ayam di Indonesia adalah sebesar 12,79 kg/kapita/tahun.
Angka tersebut jauh di bawah Malaysia yang, berdasarkan data tahun 2011 saja, mencapai 38,6 kg/kapita/tahun. Demikian juga dengan Thailand yang mencapai 14 kg/kapita/tahun dan Filipina dengan 8,5 kg/kapita/tahun.
Untuk konsumsi telur, Indonesia baru mencapai 87 butir/kapita/tahun, sementara Thailand mencapai 128 butir/kapita/tahun dan Malaysia unggul dengan 311 butir/kapita/tahun.
Mengapa?
Jika yang dipersoalkan adalah alasan ekonomi, terutama saat pandemi COVID-19, tampaknya itu hanya berlaku bagi kalangan menengah ke bawah. Pandemi yang mendera setahun ini jelas memaksa setiap keluarga dalam strata tersebut berhemat dan memilih menu alternatif yang lebih murah selain ayam dan telur.
Untuk kalangan menengah ke atas, faktor ekonomi mungkin tidak terlalu menjadi kendala besar untuk tetap mengonsumsi daging ayam dan telur. Karena bagi segmen masyarakat ini, isu kesehatan dan higienitas yang terutama menjadi pertimbangan. Salah satunya isu ayam broiler yang mengandung hormon berbahaya bagi kesehatan; penyebab kanker, hingga sumber kolesterol jahat.