Secara linguistik, istilah "ayam sayur" yang merupakan ejekan bagi seseorang yang pengecut atau "jago" atau "ayam jago"dan "ayam jantan dari Timur" yang merupakan lambang keberanian seseorang juga bukti sedemikian akrabnya kita dengan ayam.
Secara berseloroh, dalam sebuah diskusi di grup penerjemah, saya pernah mengatakan kepada kolega saya bahwa andai saja Ayam Cemani sudah dikenal bangsa Inggris maka bisa jadi bahasa Inggris untuk warna Cemani (warna hitam legam) bukanlah Raven Black (yang bermakna sehitam bulu burung gagak) tetapi justru Chicken Black!
Alhasil, untuk mendekatkan kita dengan kedua sahabat lama tersebut, salah satu jurus yang digunakan adalah dengan pendekatan kebudayaan. Terutama jika yang disasar adalah target segmen ekonomi menengah ke atas, yang tidak terlalu bermasalah dengan isu ekonomi.
Namanya juga persahabatan. Lumrahlah jika ada salah paham karena mindset yang keliru.
Di situlah peran kehumasan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan), yang mesti aktif mengeksplorasi dan mendayagunakan unsur budaya dan kearifan lokal bangsa ini dalam menggalakkan kampanye gemar makan ayam dan telur. Sebagai bangsa, kita sudah punya modal sejarah yang panjang dan kaya untuk materi-materi kampanye berwawasan kebudayaan tersebut.
Jika kalangan menengah ke atas, yang notabene merupakan gerbong perubahan di negeri ini karena kekuatan ekonomi, jejaring dan kualitas SDM yang dimiliki sebagai segmen pemengaruh atau influencer, dapat dibidik dengan tepat, maka, dengan asumsi teori trickle-down effect (tetesan air ke bawah), kalangan menengah ke bawah diprediksi dapat ikut terdorong untuk turut meningkatkan konsumsi ayam dan telur.
Namun, sebagaimana disinggung di awal, kendala utama bagi kalangan menengah ke bawah dalam konteks ini adalah isu ekonomi, yang terkait dengan kondisi pandemi dan resesi global. Dengan demikian, tampaknya perjuangannya akan lebih berat dan memerlukan kesabaran ekstra.
Jagakarsa, 7 Januari 2021
Referensi:
2. bisnis.com