Dulu, semasa saya masih di Sekolah Dasar (SD), keluarga saya pernah memelihara ayam kampung atau yang sering disebut juga "ayam bukan ras" (buras). Kandangnya persis di samping rumah.
Itu suatu hal yang lazim di kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) di era 80-90an. Di era itu, banyak keluarga yang punya ayam piaraan, yang daging dan telurnya dapat dikonsumsi untuk keperluan sendiri. Jika berlebih, barulah dijual.
Saat itu ayam broiler (ayam petelur), yang sering disebut "ayam negeri" atau ayam ras, belum banyak dikenal. Di kawasan Jakarta, Bob Sadino, sang taipan dengan jejaring gerai Kemchicks, juga baru memulai bisnis beternak ayam broiler di era 80-an di Kemang, Jakarta Selatan. Hingga bisnisnya membesar sampai saat ini.
Syahdan, sebagai anak zaman itu, saya cukup akrab bersahabat dengan ayam.
Karena sering kebagian tugas merawat ayam, saya lumayan paham apabila ayam-ayam kami terindikasi sakit. Bulunya rontok, badannya gemetar atau sekadar meringkuk di pojok kandang. Jika telat ditangani, tersisa bangkai ayam yang mati dirubungi kerumunan lalat.
Demikian juga saya cukup sedih jika pagi-pagi mendapati ada ayam yang hilang dimangsa musang atau ular. Jika pun bangkainya disisakan, umumnya terkapar mati dengan perut bolong, dan isi perutnya hilang.
Juga, jika saatnya ayam bertelur, kesal rasanya jika mendapati telur yang gagal menetas, dan berubah jadi telor tembuhuk atau telur busuk. Baunya menyengat sangat. Jika sedang iseng, telur semacam itu bisa menjadi amunisi ampuh untuk main perang-perangan dengan teman.
Alhasil, saya tertawa ngakak ketika kampanye pemilu 1999 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (saat itu sebagai ketua parpol), dalam sebuah gelar wicara (talkshow) TV, melontarkan celetukan yang menyindir parpol lain pesaing partainya yang sama-sama berasal dari Nahdlatul Ulama (NU), "Ayam jika bertelur yang keluar itu bukan hanya telur, tapi juga yang lain."
Apabila ayam bertelur, selain telur yang dihasilkan, juga ada tahi ayam yang keluar menyertai telur. Dan, sebagai pemiara ayam, itu tugas saya untuk membersihkan telur dari kotoran yang menyelimutinya.
Hingga awal warsa 2000-an, di kawasan Jabodetabek, masih banyak dijumpai ayam-ayam kampung piaraan yang berkeliaran cari makan.
Tapi ketika flu burung (avian influenza) menyerang dunia pada medio 2000-an, yang diduga salah satu sumbernya adalah unggas, ramai dilakukan penertiban kandang-kandang ayam di tengah kota. Tidak boleh lagi memiara ayam di dalam kota. Ayam piaraan yang ada sebagian dibakar dengan insentif ganti rugi dari pemerintah. Untuk peternakan-peternakan besar, direlokasi ke pinggiran kota.
Itu sebenarnya bukan faktor tunggal berkurangnya populasi ayam piaraan. Selain dianggap mengganggu kenyamanan bertetangga, dengan bau kotoran yang menyengat, juga faktor kebersihan. Maklumlah, seiring perkembangan Jabodetabek, pemukiman kian memadat, penduduk bertambah, lahan menyempit, dan ayam-ayam piaraan pun harus mengalah.
Kenapa tidak makan ayam dan telur?
Entahlah apakah berkurangnya populasi ayam piaraan di dalam kota berkorelasi dengan menurunnya tingkat konsumsi daging ayam dan telur di kawasan Jabodetabek. Karena pada faktanya kebutuhan pasokan daging ayam dan telur untuk Jabodetabek sebagian besar dipasok dari luar Jabodetabek, yang tentu berpengaruh pada harga daging ayam dan telur yang terkait dengan anggaran yang lebih besar yang harus dikeluarkan setiap keluarga.
Jika diproyeksikan secara nasional, kawasan Jabodetabek yang merupakan sentra ekonomi utama di Indonesia dengan 70 persen perputaran uang nasional di kawasan tersebut adalah cerminan secara kasar atas tren tingkat konsumsi daging ayam dan telur secara nasional.
Berdasarkan hasil Survei Konsumsi Bahan Pokok (VKBP) 2017 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat konsumsi daging ayam di Indonesia adalah sebesar 12,79 kg/kapita/tahun.
Angka tersebut jauh di bawah Malaysia yang, berdasarkan data tahun 2011 saja, mencapai 38,6 kg/kapita/tahun. Demikian juga dengan Thailand yang mencapai 14 kg/kapita/tahun dan Filipina dengan 8,5 kg/kapita/tahun.
Untuk konsumsi telur, Indonesia baru mencapai 87 butir/kapita/tahun, sementara Thailand mencapai 128 butir/kapita/tahun dan Malaysia unggul dengan 311 butir/kapita/tahun.
Mengapa?
Jika yang dipersoalkan adalah alasan ekonomi, terutama saat pandemi COVID-19, tampaknya itu hanya berlaku bagi kalangan menengah ke bawah. Pandemi yang mendera setahun ini jelas memaksa setiap keluarga dalam strata tersebut berhemat dan memilih menu alternatif yang lebih murah selain ayam dan telur.
Untuk kalangan menengah ke atas, faktor ekonomi mungkin tidak terlalu menjadi kendala besar untuk tetap mengonsumsi daging ayam dan telur. Karena bagi segmen masyarakat ini, isu kesehatan dan higienitas yang terutama menjadi pertimbangan. Salah satunya isu ayam broiler yang mengandung hormon berbahaya bagi kesehatan; penyebab kanker, hingga sumber kolesterol jahat.
Sebetulnya itu deretan isu lama karena sejak era 90-an, sudah beredar. Dalam konteks zaman itu, saya melihat isu-isu tersebut lebih sebagai dampak pertarungan bisnis antara para peternak ayam kampung yang mulai khawatir dengan kehadiran ayam ras atau ayam broiler yang masif dan agresif di meja-meja makan warga.
Jika 30 tahun kemudian isu itu bereinkarnasi, mungkin karena pengaruh faktor gaya hidup (life style) kalangan menengah ke atas bangsa ini yang fokus pada isu kesehatan dan kebugaran tubuh yang berjalin berkelindan dengan tren green economy (ekonomi hijau) yang merupakan tren global. Bagaimanapun, manusia adalah produk zamannya.
Yang jadi problem adalah menurunnya tingkat konsumsi ayam dan telur, di saat pandemi seperti ini, justru akan menurunkan kekebalan atau imunitas tubuh.
Padahal ayam dan telur merupakan sumber protein hewani yang relatif lebih mudah diperoleh dan penting untuk meningkatkan imunitas tubuh. Telur dan daging ayam mengandung asam amino lengkap, vitamin dan mineral seimbang.
"Protein hewani dari telur terserap sempurna oleh tubuh. Sedangkan daging ayam mengandung asam amino yang penting untuk pertumbuhan dan mengganti sel-sel tubuh yang rusak," ujar drh. Rakhmat Nuriyanto dari Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) sebagaimana dikutip dari Tabloid Sinar Tani daring dalam rangka Peringatan Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) pada 15 Oktober 2020.
Bahkan, menurut drh. Rakhmat Nuriyanto, berdasarkan data UNICEF, perbaikan gizi yang didasarkan pada pemenuhan protein hewani memiliki kontribusi 60% pada pertumbuhan ekonomi negara maju. Sehingga, bisa dikatakan negara dengan tingkat konsumsi protein hewani yang bagus memiliki faktor pertumbuhan ekonomi yang lebih bagus karena berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia negara tersebut.
Dan, dalam konteks Indonesia, ayam dan telur adalah sumber protein hewani yang relatif lebih mudah diperoleh, berkualitas dan sudah sangat lama akrab dengan masyarakat Indonesia.
Mengakrabi kembali ayam dan telur
Ibarat sahabat lama, ayam dan telur adalah sahabat lama yang perlu diakrabi kembali. Karena sejatinya bangsa Indonesia adalah bangsa pemakan ayam dan telur.
Bahkan salah satu jaringan restoran waralaba internasional yang awalnya hanya menyediakan menu daging sapi, ketika masuk pasar Indonesia, harus menambahkan menu daging ayam dan telur sebagai bagian dari modifikasi menu yang dapat diterima masyarakat Indonesia.
Konon relief hewan ayam juga didapati di berbagai candi kuno di Indonesia. Itu artinya ayam, dan juga telur yang merupakan produk dari ayam, sudah hadir sejak lama dalam khazanah kuliner bangsa Indonesia dan dapat dikatakan merupakan bagian dari identitas budaya bangsa ini.
Secara linguistik, istilah "ayam sayur" yang merupakan ejekan bagi seseorang yang pengecut atau "jago" atau "ayam jago"dan "ayam jantan dari Timur" yang merupakan lambang keberanian seseorang juga bukti sedemikian akrabnya kita dengan ayam.
Secara berseloroh, dalam sebuah diskusi di grup penerjemah, saya pernah mengatakan kepada kolega saya bahwa andai saja Ayam Cemani sudah dikenal bangsa Inggris maka bisa jadi bahasa Inggris untuk warna Cemani (warna hitam legam) bukanlah Raven Black (yang bermakna sehitam bulu burung gagak) tetapi justru Chicken Black!
Alhasil, untuk mendekatkan kita dengan kedua sahabat lama tersebut, salah satu jurus yang digunakan adalah dengan pendekatan kebudayaan. Terutama jika yang disasar adalah target segmen ekonomi menengah ke atas, yang tidak terlalu bermasalah dengan isu ekonomi.
Namanya juga persahabatan. Lumrahlah jika ada salah paham karena mindset yang keliru.
Di situlah peran kehumasan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan), yang mesti aktif mengeksplorasi dan mendayagunakan unsur budaya dan kearifan lokal bangsa ini dalam menggalakkan kampanye gemar makan ayam dan telur. Sebagai bangsa, kita sudah punya modal sejarah yang panjang dan kaya untuk materi-materi kampanye berwawasan kebudayaan tersebut.
Jika kalangan menengah ke atas, yang notabene merupakan gerbong perubahan di negeri ini karena kekuatan ekonomi, jejaring dan kualitas SDM yang dimiliki sebagai segmen pemengaruh atau influencer, dapat dibidik dengan tepat, maka, dengan asumsi teori trickle-down effect (tetesan air ke bawah), kalangan menengah ke bawah diprediksi dapat ikut terdorong untuk turut meningkatkan konsumsi ayam dan telur.
Namun, sebagaimana disinggung di awal, kendala utama bagi kalangan menengah ke bawah dalam konteks ini adalah isu ekonomi, yang terkait dengan kondisi pandemi dan resesi global. Dengan demikian, tampaknya perjuangannya akan lebih berat dan memerlukan kesabaran ekstra.
Jagakarsa, 7 Januari 2021
Referensi:
2. bisnis.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H