Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setangkai Doa untuk Pak Tjipta dan Bu Roselina

5 Januari 2021   19:01 Diperbarui: 5 Januari 2021   19:08 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasutri Pak Tjip dan Bu Rose/Foto: Dokpri Pak Tjiptadinata Effendi

Para Kompasioner aktif tentu akrab dengan nama Pak Tjiptadinata Effendi dan Bu Roselina Effendi, pasangan dwitunggal di Kompasiana.

Ya, dwitunggal. Dua dalam satu, satu dalam dua. Sedemikian meleburnya. Ulang tahun pernikahan ke-56 antara mereka berdua, yang keduanya telah berusia 70-an tahun, adalah salah satu pembuktiannya.

Dan, bagi saya, mereka adalah manula sekaligus lansia.

Manula sekaligus lansia?

Lho, bukankah itu lewah alias mubazir? Manula dan lansia kan sama saja!

Mungkin ada yang mengajukan protes seperti itu.

Lagipula tidakkah istilah "manula" akan melecehkan duo Pak Tjip dan Bu Rose (panggilan akrab bagi keduanya) yang merupakan para figur terhormat di kalangan Kompasioner?

Eits, nanti dulu!

Dalam konteks kontribusi dwitunggal tersebut, "manula" itu bermakna "manusia langka".

Dan "lansia" bermakna "langgeng setia berkarya".

Kenapa demikian?

Manusia langka, karena bisa dihitung dengan jari, kalangan senior di Kompasiana (terlebih lagi dengan kualifikasi penulis buku best seller) yang bersedia meluangkan waktu rutin menulis setiap hari selama sedekade.

Dan bukan hanya sekadar menulis lantas berdiam diri saja (hit and run), Pak Tjip dan Bu Rose juga sangat telaten dan aktif menyapa para Kompasioner yang mayoritas jauh lebih muda usianya.

Alhasil, Pak Tjip dan Bu Rose dapatlah dikatakan teladan dan patokan (benchmark) budaya silaturahmi (atau dalam versi jargon Kompasiana era sebelumnya, sharing and connecting, yakni berbagi dan terkoneksi) di Kompasiana. 

Lewat keteladanan keduanya, menulis di Kompasiana menjadi beyond blogging (jargon Kompasiana saat ini), tidak sekadar ngeblog.

Secara pribadi, saya amat tersentuh dengan ketelatenan Pak Tjip dan Bu Rose menyapa dan mengomentari tulisan-tulisan saya di Kompasiana dengan apresiasi dan kalimat-kalimat positif dan menyemangati. Meskipun seringkali saya alpa membalas kunjungan mereka. Mohon maaf ya, Pak, Bu!

Bahkan, dalam salah satu tulisannya, Bu Rose memperlihatkan daftar 100 Kompasioner yang dibuatnya yang menjadi tujuan silaturahminya. Saya terharu saat mendapati nama saya adalah salah satunya.

Jika di Kompasiana ada award (kusala) bagi para Kompasioner yang rutin melakukan blogwalking (kunjungan blog), tampaknya pasangan Pak Tjip dan Bu Rose adalah kandidat nomor wahid untuk kusala tersebut.

Entah disadari atau tidak oleh Pak Tjip dan Bu Rose, rutinitas mereka berdua menyambangi dan memotivasi para Kompasioner secara tidak langsung merupakan upaya menumbuhkan kepercayaan diri dan merawat asa para Kompasioner untuk terus aktif dan konsisten menulis.

Bagi sebagian Kompasioner, tulisannya dikunjungi dan dikomentari itu hal yang teramat biasa. Tapi bagi yang lain, terlebih bagi para penulis pemula, tulisan yang dikomentari itu sesuatu yang istimewa. Apalagi jika komentarnya bersifat masukan konstruktif yang memotivasi semangat menulis atau semangat hidup.

Itulah kontribusi besar Pak Tjip dan Bu Rose, yang sesungguhnya meringankan beban tugas tim Admin Kompasiana untuk tetap menjaga semangat dan kontribusi menulis Kompasioner serta mengembangkan jejaring Kompasioner.

Sekali lagi, jika ada posisi atau jenjang warga kehormatan atau Kompasioner kehormatan di Kompasiana, Insya Allah, saya akan ajukan pasangan Pak Tjip dan Bu Rose sebagai yang terdepan dalam daftar nominasi.

Langgeng setia berkarya, karena jelas butuh pengorbanan, semangat dan disiplin teramat kuat untuk konsisten menulis minimal satu tulisan setiap hari tanpa terputus hingga bertahun-tahun hingga sepuluh warsa.

Berdasarkan buku Boost Your Mind Power Week by Week karya Bill Lucas (2006), ada kaidah 10 tahun (ten-year rule), yang dikembangkan seorang ilmuwan Swedia bernama Anders Ericson yang menyatakan bahwa untuk mencapai tingkat kinerja tertinggi dalam segala bidang, diperlukan waktu sepuluh (10) tahun praktik yang intensif.

Dalam hal ini, bagi Pak Tjip yang konsisten menulis selama sedekade bergabung di Kompasiana, pantaslah tingkatan tersebut beliau capai, yang terbukti dengan pencapaian predikat Maestro di Kompasiana.

Tentang "Manula" dan "Lansia"

Secara demografis, "Manula" adalah akronim untuk manusia usia lanjut dan "Lansia" adalah akronim untuk lanjut usia.

Keduanya adalah dua kata yang dapat saling menggantikan, dapat dipertukarkan. Kendati yang ada di Kamus Besar Bahasia Indonesia (KBBI) hanyalah "lansia". Mungkin karena tren belakangan saat penggunaan kata "manula" tergeser oleh kata "lansia".

Pergeseran tersebut antara lain dikarenakan kata "manula" yang dianggap lebih melecehkan kalangan warga senior (senior citizen) alih-alih kata "lansia" yang dianggap lebih ramah, enak di lidah dan mengandung unsur penghormatan.

Bagaimana pun, di Indonesia, eufemisme bahasa adalah faktor yang teramat sangat dipertimbangkan.

Terlepas dari faktor eufemisme, manula atau lansia memiliki definisi yang sama, yakni "Seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. "

Definisi tersebut telah ditetapkan berdasarkan undang-undang dan berdasarkan glosarium Kementerian Sosial (kemensos.go.id). Juga banyak digunakan dalam berbagai dokumen resmi pemerintahan. Termasuk juga penggunaan kata "manula" dan "lansia" yang saling menggantikan.

Meskipun belakangan ada usulan dari sebagian kalangan, dengan mempertimbangkan angka Usia Harapan Hidup (UHH) masyarakat Indonesia yang semakin meningkat, agar batasan usianya dinaikkan menjadi 65 tahun ke atas.

Dan, terlepas dari tingkat produktivitas kalangan lansia, posisi lansia dalam strata kehidupan bermasyarakat juga dihormati, dengan disimbolkan melalui penetapan Hari Lanjut Usia (Lansia) Nasional (HLUN) setiap 29 Mei pada tahun 1996.

Tanggal 29 Mei dipilih pemerintahan era Soeharto sebagai Hari Lansia Nasional dengan mempertimbangkan peranan dan kontribusi seorang tokoh pergerakan nasional bernama KRT Rajiman Wediodiningrat.

Beliau adalah seorang dokter dan tokoh Boedi Oetomo yang memimpin sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei 1945 dalam kedudukannya sebagai anggota tertua BPUPKI. Pada waktu itu, Dokter Rajiman berusia 66 tahun.

Dokter Rajiman yang saat itu sukses memimpin sidang BPUPKI juga menelurkan gagasan penting agar BPUPKI perlu terlebih dahulu menetapkan de filosofische groundslag atau dasar filosofi negara sebagai modal dasar kemerdekaan Indonesia.

Mengikat ilmu dan menyegarkan ingatan

Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam (SAW) bersabda, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya."

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori tersebut kerap dianggap sebagai perkataan Ali bin Abi Thalib, salah seorang sahabat Rasulullah yang dijuluki "Baabul Ilmi" (Pintu Ilmu) karena intelektualitasnya.

Kendati non-Muslim, Pak Tjip dan Bu Rose sejatinya telah mengamalkan isi hadis Nabi Muhammad tersebut secara ajeg.

Mereka aktif menuliskan segenap kisah hidup dan pengalaman pribadi mereka, baik yang manis maupun yang kecut dan pahit, secara runut dan detail, hari demi hari. Kisah-kisah yang menginspirasi dan terasa betul ditulis dari hati. Karena jatuhnya tepat di hati.

Secara tidak langsung, sebagai lansia yang aktif berkarya, apa yang dilakukan Pak Tjip dan Bu Rose, menurut para ilmuwan, adalah kiat jitu untuk senantiasa menyegarkan ingatan.

Ketiga aspek utama ingatan atau memori, menurut Bill Lucas, adalah menciptakan memori, menyimpan dan mengingatnya kembali. Dan aktivitas menulis merangkum ketiga aspek tersebut.

Menulis, dengan aktivitas mengingat, membaca dan menganalisis, juga bermanfaat memancing korteks atau syaraf-syaraf otak bekerja aktif sehingga membantu mencegah kalangan warga senior terkena penyakit pikun atau demensia.

"Memory is the diary that we all carry around with us," demikian menurut Oscar Wilde, seorang penulis legendaris Inggris Raya.

Ingatan atau memori adalah diary atau catatan harian yang selalu kita bawa kemana-mana. Dan Pak Tjip dan Bu Rose berhasil melakukannya. Mereka mengikat ilmu dengan otak dan hati yang hasilnya berupa tulisan pengalaman hidup yang inspiratif, membuka wawasan orang lain dan menyentuh hati para pembacanya.

Setangkai doa

Akhirul kalam, izinkan saya, sebagai bagian dari barisan Kompasioner yang selama ini banyak terinspirasi dan turut terjaga kepercayaan diri dan asanya karena sentuhan kasih Pak Tjip dan Bu Rose, menghaturkan setangkai doa untuk Pak Tjip dan Bu Rose:

Selamat ulang tahun pernikahan ke-56 ya, Pak Tjipta dan Bu Roselina

Semoga langgeng tidak terlerai hingga akhir hayat di dunia

Terima kasih atas segenap inspirasi dan perhatian tulusnya

Moga ayahanda dan bunda berdua senantiasa sehat-sehat tiada kurang suatu apa

Jika doa ini laksana pelukan dari jauh, semoga ia merengkuh ayahanda dan bunda berdua dalam kasih dan suka cita.

 

Jagakarsa, 5 Januari 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun