Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Usah Dikejar, Bahagia Itu Dekat

29 Desember 2020   17:19 Diperbarui: 29 Desember 2020   17:50 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: motivationblog.org

Bicara tentang bahagia dan kebahagiaan memang tidak akan ada ujungnya.

Dalam buku Tasawuf Modern terbitan tahun 1939, yang merupakan kumpulan artikelnya di majalah Pedoman Masyarakat sejak 1937, Buya Hamka menguraikan pelbagai filosofi kebahagiaan dari berbagai sumber mulai dari zaman para filsuf Yunani seperti Socrates dan Aristoteles hingga ke era Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam (SAW).

Buya Hamka pun menyimpulkan secara garis besar bahwa bahagia itu tidak berjarak dengan kita. Jadi, tak usah dikejar, karena bahagia itu dekat, ada di dalam diri kita.

Dan, menurut Buya Hamka, sumber bahagia manusia ada dua, dari dalam dan dari luar diri. Karena manusia yang bahagia ialah yang hidupnya buat alam, bukan buat dirinya seorang.

Persis sebagaimana kutipan kata bijak yang populer di media sosial yang berbunyi: "The best way to multiply your happiness is to share it with others".

Cara terbaik untuk melipatgandakan kebahagiaanmu adalah dengan berbagi kebahagiaan kepada orang lain.

Dokpri
Dokpri

Apa itu bahagia?

"Kalau kita perturutkan, bahagia itu mempunyai kaidah sebanyak orang, sebanyak penderitaan, sebanyak pengalaman, sebanyak kekecewaan. Orang bahagia mengatakan bahagia (ada) pada kekayaan; orang sakit mengatakan bahagia (ada) pada kesehatan; pendosa mengatakan bahwa terhenti dari doa itulah kebahagiaan, dan seorang perindu mengatakan hasil maksudnya itulah bahagia," demikian tulis Buya Hamka.

Dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Zaid bin Tsabit, disebutkan "jika petang dan pagi seorang manusia telah mendapatkan rasa aman sentosa dari gangguan manusia, itulah dia orang yang bahagia."

Dalam hadis yang lain, disebutkan bahwa jika pada suatu hari itu seseorang punya cukup makanan untuk hari itu dan dalam kondisi sehat serta beriman kepada Allah, maka ia adalah orang yang bahagia.

Ibnu Khaldun, seorang ulama Muslim dan penulis buku Mukaddimah yang legendaris (konon termasuk buku yang direkomendasikan Mark Zuckerberg untuk dibaca), menyimpulkan definisi kebahagiaan menurut Islam adalah "tunduk dan patuh mengikuti garis-garis yang ditentukan Allah dan perikemanusiaan".

Bersyukur kunci bahagia

Bersyukur, yang salah satu manifestasinya adalah qona'ah, adalah kunci bahagia.

Qona'ah atau merasa cukup dengan apa yang ada, dengan apa yang dimiliki dan diperoleh, adalah manifestasi atau bentuk turunan dari rasa syukur kepada Tuhan.

Alhasil, dalam konteks itu, kekayaan bukan lagi banyaknya tumpukan harta yang dimiliki. Dan kemiskinan bukan lagi soal sedikitnya nominal rupiah atau dolar atau mata uang yang dipunyai.

Dengan menyitir hadis Nabi Muhammad SAW, Buya Hamka menuliskan bahwa "Orang yang paling kaya ialah yang paling sedikit keperluannya, dan orang yang paling miskin ialah yang paling banyak keperluannya."

Terkadang, terlebih di era materialistik seperti sekarang ini, ada kerancuan antara keperluan dan keinginan kita. Sejatinya yang kita perlukan lebih sedikit dibandingkan segala  keinginan kita. Dan kuncinya adalah pada seberapa besar rasa syukur yang kita punyai, dan seberapa istikomah atau konsisten kita bersikap qona'ah dalam hidup ini.

Berbagi bahagia

Berbagi bahagia atau kebahagiaan, sebagaimana disebutkan di atas, merupakan bagian dari implementasi rasa syukur dan juga bagian dari cara melipatgandakan kebahagiaan yang kita miliki.

Dan berikut ini sekadar cerita tahaddus bin ni'mah (pernyataan rasa syukur).

Semasa SD (Sekolah Dasar), saya sering kesulitan membayar uang sekolah atau SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) setiap bulannya dikarenakan kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan.

Ayah saya montir mobil panggilan dan ibu penjual kue, yang mempunyai enam orang anak.  Alhasil, anggaran atau budget keluarga harus dibagi-bagi seefisien mungkin. Beruntunglah, saya sempat mendapatkan beasiswa bebas SPP dari sebuah lembaga sosial internasional selama beberapa tahun yang lumayan menghemat pengeluaran keluarga.

Dan sebagai bentuk rasa syukur, atau bentuk balas budi (pay it forward), sejak 2007, setiap bulannya, saya rutin memberi bantuan atau donasi via sebuah lembaga amil zakat nasional kepada beberapa anak asuh usia SD untuk biaya SPP dan kebutuhan sekolah mereka.

Alhamdulillah, hingga saat ini, selama nyaris 1,5 dekade, Allah masih memampukan saya untuk rutin melakukan hal tersebut secara konsisten, tanpa terputus.

Saya percaya betul janji Allah bahwa donasi atau sedekah itu mendatangkan rizki dan menolak bala' (musibah, kemalangan atau keburukan).

Terbukti saat saya mulai terdaftar sebagai donatur tetap itu justru ketika saya sedang dalam kondisi terpuruk selepas banjir bandang Jakarta pada Januari 2007.

Saat itu rumah peninggalan orang tua saya terendam air setinggi atap. Barang pribadi dan aset-aset biro penerjemahan milik saya hancur, termasuk juga koleksi ribuan buku saya. Dan rencana lamaran pernikahan yang semula dijadwalkan pada Februari 2007 terpaksa dimundurkan beberapa bulan ke belakang.

Syukurlah, Allah kasih jalan rizki tidak terduga.

Syahdan, acara lamaran atau pinangan (khitbah) dan juga akad nikah serta resepsi pernikahan (walimatul 'ursy) ternyata bisa dilangsungkan pada tahun yang sama. Alhamdulillah.

Saya juga dapat pinjaman lunak (soft loan), yang segera bisa dilunasi, untuk pembelian komputer dan aset-aset biro penerjemahan hingga bisa beroperasi kembali hingga saat ini. Kendati bisnis biro penerjemahan kini menjadi bisnis sampingan setelah saya memilih bergabung dengan sebuah firma hukum beberapa tahun kemudian.

Bahagia itu (terkadang) sederhana

Berangkat dari tragedi 2007, kegiatan menyantuni yatim dan dhuafa pun belakangan, sejak setahun terakhir, saya tingkatkan dengan sedekah Jumat rutin setiap pekan.

Saban Jumat pagi, saya titipkan sedekah rata-rata sebesar Rp25 ribu kepada seorang penjual nasi uduk keliling yang biasa keluar masuk lingkungan kaveling rumah saya.

Mbak Uduk, demikian kami menyebutnya. Dialah yang nanti membagikan pincuk-pincuk nasi uduk itu (sesuai nominal sedekah kami) kepada kaumika (kaum miskin kota) atau dhuafa yang ditemuinya. Biasanya ditujukan kepada para penjahit keliling atau pedagang asongan di sekitaran Pasar Lenteng Agung.

Karena umumnya, terlebih lagi di era pandemi saat ini, penghasilan mereka tidak menentu. Hingga untuk makan pun mereka harus berhemat, tidak jarang mereka hanya makan sehari sekali.

Selain itu, sering juga saya menitipkan sedekah pada beberapa teman atau kenalan yang aktif menggalang donasi kolektif semacam kelompok Sedekah Rombongan dan kelompok sukarelawan sosial lainnya.

Dari segi nominal, barangkali tampak seperti menyiramkan segelas air ke gurun pasir yang tandus. Namun, kebahagiaan para penerima bantuan itu tidak selalu dapat diukur dengan besar kecilnya donasi atau sedekah kita.

Seratus ribu rupiah yang mungkin recehan bagi kita atau sekadar senilai dua cangkir kopi jenama (brand) asing tentu berbeda nilainya bagi anak yatim atau keluarga dhuafa yang dapat membelanjakannya untuk makan sekeluarga beberapa hari, misalnya.

Bahagia tidak sama takarannya. Bagi kaum papa, bahagia itu terkadang sederhana. Sekadar tidak kelaparan di hari itu atau ada perhatian dan tangan kasih yang menyapa mereka, itu juga sudah membahagiakan.

Semburat atau rona kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka itulah yang dapat menjadi obat hati, tombo ati, bagi para pemberi.

Maka sesungguhnya bersedekah atau berbagi dan memberi itu suatu win-win solution, solusi yang sama-sama menguntungkan.

Bagi penderma, sedekah menjadi tamengnya dari musibah atau keapesan sekaligus penenteram jiwa dari keresahan atau kesulitan hidup yang melanda. Sementara bagi penerima bantuan, sedekah itu menjadi pelipur lara atau bahkan penyelamat hidup mereka.

Saya juga yakin bahwa Allah senantiasa melihat upaya kita alih-alih hasil kerja kita. Terlebih lagi jika kita bisa melakukannya serentak dan bersama-sama.  Itulah juga yang menjadi harapan dan mimpi besar saya.

Dan perjalanan mewujudkan kebahagiaan orang lain sejatinya adalah mewujudkan kebahagiaan kita yang paripurna. Karena takkan sempurna dan lengkap suatu kebahagiaan jika tidak dibagikan. Seperti halnya gula yang tidak sempurna tanpa rasa manisnya.

Jakarta, 29 Desember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun