Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Tragis Puteri Aktivis

15 Desember 2020   15:34 Diperbarui: 15 Desember 2020   15:46 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku meringis menahan sakit.

Perlahan aku ketuk pintu kamar itu. Tidak ada jawaban dari dalam. Kudorong sedikit. Ternyata tidak terkunci. Kulongokkan kepala. Mama sedang berbicara di telepon genggamnya. Sesekali terdengar gelak tawanya. Mama tampak gembira sekali.

"Begitulah, Jeng, kita harus maju terus. Biar pun jumlah kita sedikit, kita punya dukungan media massa!" Lantas Mama terdiam. Asap rokok putihnya mengepul.

"Ya, iyalah. Biar mereka demo sejuta atau dua juta orang, kalau ga ada TV yang liput ya nihil juga to? Lagian soal begituan kok diatur-atur segala. Porno atau tidak, itu kan tergantung pikiran kita. Kalo iman kita kuat, masak sih tergoda!" sahut Mama tangkas. Ia meneguk kopinya.

Mama tertawa lagi mendengar balasan di ujung telepon.

"Ah, Jeng Keke bisa aja. Tapi betul juga sih bisa mati juga rejeki kamu ya. Dasar selebritis!" Gelak tawa Mama kian menggelegar. Membelah sunyi malam di kompleks elite ini.

"Oke, sampai ketemu besok sore ya. Sorry, aku mungkin agak telat. Aku harus kasih kuliah dulu di fakultas. Ini lagi ketik makalahnya. Okay, see you. Daag!"

Mama tersenyum menutup telepon genggamnya. Sejenak kemudian ia baru menyadari kehadiranku, puteri tunggalnya.

"Eh, sudah lama, Sayang?" sambutnya seraya lekas mematikan rokok di asbak.

"Mama sih lama banget telponnya," ujarku merajuk. Aku menyurukkan kepalaku ke pangkuannya. Hangat.

Tangan Mang Dimin, sopirku, yang sering menjawil pipiku juga hangat.

Mama tertawa. Ia membelai dan mendekapku. "Kamu kok belum tidur, Honey?"

"Enggak tau. Nggak bisa tidur aja. Mama masih mau ngetik?" tanyaku.

Kulihat layar laptopnya menyala. "Ma, Rere mau tanya sesuatu. Boleh?"

"Boleh dong, Sayang. Tapi tunggu sebentar ya. Mama selesaikan dulu barang lima menit. Setelah itu Mama antar kamu ke kamar. Kamu mau Mama lanjutin dongeng yang kemarin kan?"

Bukan itu sebetulnya. Tetapi aku tersenyum saja.

Mamaku ini memang pandai sekali bercerita.

Setiap malam, sejak aku bayi, kata Mama, aku selalu didongenginya bermacam-macam cerita. Sampai aku kelas satu SD seperti sekarang, aku tidak pernah bosan. Ada saja dongengnya yang menarik.

Mama mengecup dahiku. Lantas meneruskan mengetik dengan jari-jarinya yang lentik.

Mamaku cantik lho, pintar pula. Dia dosen. Sering juga menjadi pembicara di seminar-seminar. Aku sering diajaknya ikut seminar di hotel-hotel berbintang meskipun aku tidak mengerti apa yang orang-orang dewasa itu bicarakan.

Tapi aku senang kok. Camilan seminarnya enak-enak. Pesertanya ramai pula. Jadi seru aja buatku.

Eh, tadi sore Mang Dimin juga bilang aku cantik!

Aku berjinjit melihat layar laptop yang terletak di atas meja kerja Mama. Mama sedang serius sekali. Kueeja judul besar di layar itu: PERGERAKAN PEREMPUAN DAN ISU PELECEHAN SEKSUAL.

Apa sih maksudnya?

Rasanya berat otak kecilku mencernanya.

Mendadak aku merasa mengantuk sekali. Aku naik ke pangkuan Mama. Kubenamkan tubuhku di dadanya. Bertahun-tahun kunikmati kehangatan seorang Mama.

Tapi aku tak pernah tahu di mana Papa. Papa sedang ke luar negeri, ujar Mama selalu. Tapi kok tidak pulang-pulang ya?

Jam Junghun besar di kamar Mama berdentang sepuluh kali.

Aku merasa lelah sekali. Di antara kedua selangkanganku masih terasa nyeri mendera. Tadi sore Mang Dimin mengajakku bermain permainan yang aneh di kamarnya. Katanya belajar dari Youtube.

Itu yang ingin kutanyakan pada Mama. Namun Mama terus saja mengetik. Hanya sunyi kemudian yang kudengar.

Jakarta, 15 Desember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun