Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Apa Salahnya Menjadi Penulis Epigon?

10 Desember 2020   15:58 Diperbarui: 10 Desember 2020   17:14 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kepenulisan, orang yang meniru-niru gaya tulisan seorang penulis lazim disebut epigon, peniru atau pengekor.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "epigon" didefinisikan sebagai "orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak pemikir atau seniman yang mendahuluinya".

Yang namanya ekor letaknya selalu di belakang. Ia membuntuti sesuatu yang berada di depannya.

Sebagaimana ekor yang takkan pernah mendahului kepala, sejatinya seorang epigon tidak akan pernah berhasil mengungguli penulis yang ditirunya.

Lantas apa salahnya menjadi epigon?

Sepenuhnya salahkah? Salahkah bila kita meniru gaya bertutur J.K. Rowling atau gaya kontemplatif Goenawan Mohammad, misalnya?

Prinsip Copy The Master

Prinsip belajar yang paling primitif adalah mengamati dan meniru.

Bayi manusia belajar berbicara dengan mengamati dan menirukan suara-suara di sekitarnya terlepas dari apa pun penafsiran manusia dewasa akan hasil peniruan sang bayi. Demikian juga dalam kepenulisan.

Prinsip copy the master (meniru sang ahli) adalah kelaziman dalam tahap awal pembelajaran menulis. Sebagian buku panduan menulis bahkan menyebutnya "kewajiban".

Sebagian penulis besar Indonesia yang dicatat Pamusuk Eneste dalam serial buku Proses Kreatif terbitan Pustaka Gramedia tahun 80-an, mulai dari A.A. Navis sampai Arswendo Atmowiloto, bahkan menerjemahkan prinsip tersebut dengan menyalin atau mengetik ulang tulisan-tulisan penulis idola mereka untuk kemudian dibaca dan dibedah isi perutnya.

Tidak heran Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya kandidat "abadi" penerima hadiah Nobel Sastra dari Indonesia, tidak malu mengakui bahwa ia terpengaruh gaya John Steinbeck.

John Steinbeck adalah pengarang peraih Nobel Sastra kelahiran Amerika Serikat yang digjaya dengan novel-novel realisnya seperti Of Mice and Man (diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Pram menjadi Manusia dan Tikus), The Grapes of Wrath dan Pearl.

Demikian juga dengan seorang Achdiat Kartamihardja dengan roman legendaris Atheis yang jujur mengakui mempelajari teknik menulis pengarang Perancis Victor Hugo yang masyhur dengan roman Les Miserables.

Bagi seorang penulis, menjadi epigon adalah seperti menjadi seorang bayi. Ia butuh mengamati dan ia butuh asupan bergizi.

Tiga perangkat wajib penulis       

Dalam Sastra dan Tekniknya (1997), menurut Mochtar Lubis, tiga perangkat wajib bagi seorang pengarang atau penulis adalah observasi, imajinasi dan logika. Dan ASI (Air Susu Ibu) bagi sang "bayi" penulis adalah buku.

Seperti ucapan Mark Twain,"The man who does not read good books has no advantage over the man who cannot read them."

Orang yang tidak membaca buku-buku bagus tidak ada bedanya dengan orang yang tidak bisa membaca.

Sementara Samuel Johnson (1709-1784), seorang penulis berkebangsaan Inggris, mengatakan,"Sebagian besar waktu seorang penulis dihabiskan untuk membaca agar bisa menulis. Ia perlu membuka halaman separuh isi perpustakaan untuk menciptakan sebuah buku."

Sebagai "bayi", meniru atau mengimitasi adalah perlu.

Tidak perlu malu menuruti saran George Orwell, seorang penulis Inggris yang bernama asli Eric Arthur Blair dan populer dengan novel 1984 dan Animal Farm, yang menyarankan agar kata-kata dalam tulisan kita hendaknya pendek-pendek dan lugas agar pembaca terang dengan maksudnya.

Karena, lanjutnya, musuh besar bahasa yang jernih adalah ketidaktulusan. Ketika ada jurang antara maksud sesungguhnya dan apa yang diungkapkannya, secara naluriah orang berpaling pada kata-kata panjang dan ungkapan yang lemah, bagaikan cumi-cumi menyemburkan tintanya.

Intinya, kalimat-kalimat panjang sebenarnya menandakan sang penulis tidak terbuka dalam menyampaikan maksudnya.

Juga kita tidak perlu sungkan membeo wejangan Ernest Hemmingway, yang piawai dengan diksi yang sederhana namun kuat dan dialog-dialog yang tajam seperti dalam beberapa karyanya yakni For Whom The Bells Toll dan The Oldman and The Sea.

Menurut Hemmingway, cara terbaik untuk mengetahui apa sesungguhnya perasaan kita adalah dengan menuliskan perasaan tersebut.

Penulis butuh menjadi diri sendiri

Namun hidup manusia tidak sekadar dan tidak layak terhenti pada masa bayi atau kanak-kanak.

Kisah manusia yang selamanya kanak-kanak hanya ada dalam dongeng legendaris Peter Pan dengan teman peri Tinker Bell.

Bagaimanapun "bayi" butuh menjadi dewasa. Ia butuh menjadi diri sendiri.

Para penulis atau pengarang besar meraksasa karena mereka kreatif membebaskan diri dari meniru gaya para penulis terdahulu yang dikagumi.

Karena, ujar Mochtar Lubis, imitasi bagaimanapun juga baiknya akan tetap tinggal imitasi.

Dan gaya pengarang tergantung sebagian besar dari watak pengarang itu sendiri. Ia haruslah menumbuhkan gaya mengarang sendiri, yang sesuai dengan watak, emosi dan dengan pertimbangan serta apresiasi bahasanya sendiri.

Atau dalam istilahnya John Cowper Powys, "Yang penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri; apa yang dimilikinya dalam kepalanya, dalam alat-alat panca inderanya, dalam watak dan pribadinya, dalam darah dan temperamennya."

Alhasil, tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah yang merupakan salah satu roman dalam Tetralogi Pulau Buru, sesederhana apa pun cerita yang dibuat, ia mewakili pribadi individu atau bahkan bangsanya.

Itulah yang menjadi keunikan setiap pengarang atau penulis. Karenanya gaya menulis tidak bisa diajarkan. Ia hanya bisa dipelajari dan ditiru. Dan tiada jalan pintas untuk mendapatkan gaya menulis tersebut.

Persis seperti yang diungkapkan William Faulkner dalam sebuah wawancara bahwa tidak ada jalan mekanis untuk mengarang. "Pengarang muda akan bodoh untuk mengikuti suatu teori. Ajar dirimu dengan kesalahan-kesalahan yang engkau buat sendiri. Orang hanya belajar dengan membuat kesalahan."

Kasta epigon

Apa salahnya menjadi epigon?

Mungkin ya, mungkin tidak. Karena tergantung pada kasta epigon apa yang saat ini kita tempati dan seberapa kuat hasrat kita untuk naik kasta dan mengubah takdir kepenulisan kita.

Ya, menjadi epigon adalah salah apabila kita melakukan kesalahan sebagaimana salahnya bayi yang menolak menjadi dewasa. Ia selamanya kerdil dalam bayang-bayang orang-orang besar.

Seperti kata Mochtar Lubis, lagi-lagi dalam Sastra dan Tekniknya, bahwa orang hanya menulis apabila ada sesuatu dalam jiwanya yang mendesak-desak, memaksanya mengambil alat tulis dan menulis.

Jika orang mengarang karena ikut-ikutan atau sekadar meniru karena ingin terkenal atau masyhur maka orang yang demikian pastilah dari semula tidak akan berhasil menjadi pengarang.

Sang epigon primitif ini tidak akan pernah mengungguli para pengarang aslinya.

Tidak, menjadi epigon tidak salah apabila kita memperlakukan masa peniruan yang entah seberapa tahun lamanya itu sekadar sebagai masa pendadaran, yakni masa awal pembelajaran yang tentu saja kurun waktunya tidak mungkin selamanya.

Anggap saja fase menjadi epigon itu sekadar fase ketika kita mulai menaiki bahu-bahu raksasa agar kita dapat melihat dunia dengan sudut pandang yang lebih luas.

Hingga akhirnya tibalah saatnya tumbuh sayap-sayap keberanian kita untuk melompat dan terbang lebih tinggi. Dan bebaslah kita, seperti bebasnya ekor cecak yang masih sanggup bergerak-gerak sendiri ketika terputus dari tubuh inangnya.

Jika kita berani mandiri seperti, sebuah contoh yang sangat minimalis, ekor cecak yang terlepas untuk mengecoh musuhnya, maka kita adalah para epigon kreatif.

Para epigon kreatif inilah yang berhak punya sayap-sayap keberanian sebagaimana berhaknya bayi untuk tumbuh gigi sebagai tanda berjalannya proses kedewasaan yang lumrah.

Sayap-sayap keberanian itu sendiri tidak mungkin tumbuh tanpa (menurut formula untuk menjadi pengarang atau penulis yang baik menurut William Faulkner) 99% disiplin dan 99% kerja.

"Jangan sibuk berusaha menjadi lebih baik dari para pengarang yang lebih dahulu tapi cobalah menjadi lebih baik dari dirimu sendiri," pesan sang sastrawan peraih Nobel Sastra dari Prancis tersebut.

Jakarta, 10 Desember 2020


Baca Juga:

1. bersedekahlah-tuhan-jamin-rejekimu

2. empat-kiat-menjaring-jodoh

3. perselingkuhan-kaum-intelektual

4. apa-bedanya-sahabat-dan-teman

5. ibu-guru-spesial-dan-murid-malin-kundang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun