Tidak perlu malu menuruti saran George Orwell, seorang penulis Inggris yang bernama asli Eric Arthur Blair dan populer dengan novel 1984 dan Animal Farm, yang menyarankan agar kata-kata dalam tulisan kita hendaknya pendek-pendek dan lugas agar pembaca terang dengan maksudnya.
Karena, lanjutnya, musuh besar bahasa yang jernih adalah ketidaktulusan. Ketika ada jurang antara maksud sesungguhnya dan apa yang diungkapkannya, secara naluriah orang berpaling pada kata-kata panjang dan ungkapan yang lemah, bagaikan cumi-cumi menyemburkan tintanya.
Intinya, kalimat-kalimat panjang sebenarnya menandakan sang penulis tidak terbuka dalam menyampaikan maksudnya.
Juga kita tidak perlu sungkan membeo wejangan Ernest Hemmingway, yang piawai dengan diksi yang sederhana namun kuat dan dialog-dialog yang tajam seperti dalam beberapa karyanya yakni For Whom The Bells Toll dan The Oldman and The Sea.
Menurut Hemmingway, cara terbaik untuk mengetahui apa sesungguhnya perasaan kita adalah dengan menuliskan perasaan tersebut.
Penulis butuh menjadi diri sendiri
Namun hidup manusia tidak sekadar dan tidak layak terhenti pada masa bayi atau kanak-kanak.
Kisah manusia yang selamanya kanak-kanak hanya ada dalam dongeng legendaris Peter Pan dengan teman peri Tinker Bell.
Bagaimanapun "bayi" butuh menjadi dewasa. Ia butuh menjadi diri sendiri.
Para penulis atau pengarang besar meraksasa karena mereka kreatif membebaskan diri dari meniru gaya para penulis terdahulu yang dikagumi.
Karena, ujar Mochtar Lubis, imitasi bagaimanapun juga baiknya akan tetap tinggal imitasi.