Silakan diteroka emosi dasar apa saja yang memancing naluri pembaca untuk terus dan tetap membaca?Â
Maaf-maaf saja, untuk saat ini, judul yang memancing naluri seksual, isu Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) atau kebutuhan perut tentu akan lebih mengundang perhatian alih-alih seputar pemikiran ilmiah atau berat (kecuali pembaca kita adalah ilmuwan, lain soalnya). Tidak usah jauh-jauh menuding, lihat saja di buana Kompasiana ini. Terutama di bidang artikel politik.
Sesuai Teori Hierarki Maslow bahwa kebutuhan akan hal-hal tersebut adalah basic needs (kebutuhan dasar)yang merupakan dasar piramida dalam hierarki penyintasan (survival hierarchy). Sementara kebutuhan akan prestasi atau ekspresi diri adalah bagian puncak piramida yang hanya akan dicapai bila perut sudah kenyang atau kebutuhan lain akan keamanan terpenuhi.
Jadi judul untuk tulisan tentang induk monyet di atas bisa saja diberi judul "NASIHAT DARI NENEK MOYANG DARWIN". Anda tentu masih ingat teori Charles Darwin tentang evolusi, bukan? Terlepas apakah kita mem(p)ercayainya atau tidak.
Pilihan lain,"MONYET JUGA MANUSIA(WI)" yang merujuk pada sifat-sifat kemanusiaan yang luhur.Â
Lebih jauh, judul juga perlu disesuaikan apakah kita akan mengembangkannya menjadi bentuk tulisan non-fiksi atau fiksi. Dalam hal ini wajib hukumnya pertimbangan yang matang dan amatan pasar yang cermat.
Â
Seperti dalam dunia kuliner, dialog adalah ingredient yang penting. Rekannya, narasi, juga tidak kalah penting. Porsi keduanya harus pas, agar tidak kepedasan atau terlalu hambar. Salah menempatkan keduanya bisa berabe.Â
Menurut Afifah Afra, aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) dan novelis Bulan Mati di Javasche Orange (Era Intermedia, 2001), narasi ditulis agar pembaca seperti mengalami sendiri kisah yang ditulis oleh pembaca. Tetapi terlalu banyak memainkan jurus narasi alih-alih menyegarkan justru bisa berpotensi membikin pembaca mengantuk dan pegal membacanya.
Di sisi lain, ada adagium penulisan don't tell it but just show it. Jangan cuma diceritakan tetapi juga tunjukkan.Â