Salah satu kesalahan utama dan terbesar rezim Orde Baru (Orba), dan rezim-rezim otoritarian lainnya di seluruh dunia dan dari zaman ke zaman, adalah menindas kemerdekaan berpikir rakyatnya.
Rezim Orba adalah sebuah sistem di mana otoritanianisme mendapatkan ruang hidupnya.
Setidaknya ada tiga hal yang diberangus di dalam sistem Orba menurut Yasraf Amir Piliang (2001), yaitu (1) daya kritis, (2) daya kreatif, dan (3) daya spiritualitas. Dengan tidak berkembangnya daya kritis maka tidak berkembang pula daya kreatif.
Masyarakat selalu diselimuti ketakutan untuk menyampaikan ide-ide baru. Ide-ide baru justru jatuh dan disumpalkan dari atas. Termasuk hegemoni spiritualitas dengan narasi tunggal.
Secara riil, rezim Orba konsisten melakukan hal tersebut, yang juga dilakukan rezim-rezim despotik di mana pun dan kapan pun, secara masif dan eskalatif terutama dengan kebijakan P-4 dan asas tunggal Pancasila.
Jean Baudrillard dalam In The Shadow of The Silent Majorities (1981) mengilustrasikan mesin-mesin pikiran rezim otoriter, seperti halnya Orba, menciptakan sebuah masyarakat yang mayoritas diam (silent majority), yang bagaikan sebuah sarang laba-laba, menangkap dan memamah apa pun yang disuguhkan kepada mereka oleh siapa pun termasuk oleh penguasa.
Lantas di mana posisi kaum intelektual?
Inilah ironi kaum intelektual di Indonesia, termasuk juga di belahan dunia lainnya.
Tidak jarang mereka berselingkuh dengan rezim despotik dan mencari "kerajaan di dunia ini" dengan berlindung di balik tampuk kekuasaan dan mempertaruhkan otoritas keilmuannya sebagai tameng kekuasaan berlabel "cendekiawan" beserta tameng-tameng lain yang berlabel "militer", "birokrat" maupun "pemuka agama" untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak pro-publik dengan dalil-dalil ilmiah atau yang dibuat seolah-olah ilmiah.
Padahal sejarah peradaban menyiratkan bahwa musuh permanen penguasa yang despotik atau rezim otoritarian, yang membelenggu kemerdekaan jiwa, adalah kaum intelektual.