Ini kisah nyata dari seorang wali murid di sekolah anak saya tentang perisakan puteranya.
Sebut saja namanya Bu Fulanah dan puteranya Fulan.
Fulan adalah anak kedua Bu Fulanah, si bungsu. Bontot, kata orang Betawi.
Fulan bontot tapi bongsor alias bertubuh tinggi besar di usianya yang baru 14 tahun. Di atas rata-rata tinggi anak seusianya.
Seperti kebiasaan orang Betawi pada umumnya, Bu Fulanah memanggil Fulan "Entong". Sama seperti "Ucok" untuk anak Medan atau "Buyung" untuk anak Minang.
Sayangnya perjalanan sekolah si Entong ini tidak seperti anak-anak pada umumnya.
Dia harus sering berpindah-pindah sekolah. Sebelum akhirnya nyaman bersekolah di salah satu sekolah home schooling komunitas (SHS) sejak SD sampai kelas 2 SMP sekarang ini.
Kok gitu sih? Mungkin ada yang bertanya demikian.
Itulah garis tangan, kata orang.
Sebelumnya Fulan sampai harus dua kali pindah sekolah selama kelas 1 dan kelas 2 SD. Pertama di SD Negeri. Yang kedua di SD swasta.
Juga berkali-kali mengalami perisakan (bullying) oleh teman sekolah dan gurunya sendiri.
Oleh si oknum guru di sekolah sebelumnya, Fulan bahkan dibilang idiot karena dianggap lamban memahami pelajaran sekolah. Sampai-sampai ia menderita stress berat dan badannya kurus kerempeng.
Menurut Bu Fulanah, jika mengenang nasib Entong tersayangnya saat itu, hatinya sedih sekali. Â Andai ia bisa bernyanyi, tentu ia akan bernyanyi pilu. Kumenangis, membayangkan betapa pedihnya...
Sayang, menurutnya, ia hanya ibu rumah tangga biasa dan suaminya juga orang biasa-biasa saja, hanya seorang loper koran.
Pasutri itu sepenuhnya pasrah kepada Allah, banyak-banyak berdoa kepada Allah, minta petunjuknya untuk anak bontotnya itu. Â Â Â Â Â Â
Syukurlah, dari rekomendasi salah seorang guru yang baik hati dan juga setelah berkeliling mencari info, mereka dapat menemukan sekolah yang pas untuk Fulan. Fulan mulai masuk SHS sejak kelas 3 SD.
Belakangan, di kelas 4, barulah ketahuan ternyata Fulan menderita mata minus.
Itulah rupanya yang diduga mempengaruhi kemampuannya menyerap pelajaran sekolah. Sampai-sampai dahulu sempat dibilang anak idiot.
Sebagai ibu, menurut ceritanya, Bu Fulanah sedih kenapa baru belakangan tahu.
Tapi nasi udah jadi bubur, mending dibikin jadi bubur ayam yang enak, pikirnya.
Yang penting Fulan sudah dapat sekolah yang cocok untuknya, demikian kata Bu Fulanah.
Setelah di SHS, si Entong ini bertambah subur badannya. Tidak lagi kerempeng, malah bongsor. Sepertinya ia sudah bahagia di sekolah yang baru.
Menurut guru-guru di SHS, kendati sering lambat mengerjakan tugas sekolah, Fulan selalu mengerjakannya hingga tuntas. Itulah, menurut mereka, sisi kelebihan Fulan.
Fulan juga punya kelebihan lain.
Dia pandai menyetir sepeda motor dan mengendarai mobil sendiri di usia SMP saat ini. Bahkan lebih lihai daripada kakak laki-lakinya yang sudah kuliah.
Allah memang Mahakuasa. Ia berikan kelebihan yang lain di saat ada suatu kekurangan.
Di samping itu, sebagai orang tua, kita memang semestinya berfokus pada kelebihan anak-anak kita, alih-alih pada kekurangannya.
Jika ia gelas setengah penuh, pandanglah sisi yang terisi air maka ialah gelas setengah penuh. Karena jika hanya dipandang sisi yang kosong, jadilah ia gelas setengah kosong.
Apa pun itu, sebagai orang tua, menurut Bu Fulanah, ia akan selalu mendukung dan akan berupaya apa pun yang terbaik untuk si Entong tersayang.
Tekad dan komitmen Bu Fulanah tentulah juga tekad para orang tua di seluruh dunia. Terlebih dalam rangka memperingati Hari Anak Sedunia 2020 yang jatuh pada 20 November.
Jakarta, 20 November 2020
Baca Juga:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H