Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Aneka Cerita Anak Home Schooling

20 November 2020   14:11 Diperbarui: 20 November 2020   14:16 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alham Navid saat Perayaan 17-an/Dokpri: Nursalam AR

"Carve your name on hearts, not tombstones. A legacy is etched into the minds of others and the stories they share about you." (Shannon Alder)

Pahatlah namamu di hati, bukan hanya di batu nisan. Pusaka itu terpatri di benak orang lain dan cerita-cerita mereka tentangmu, demikianlah kutipan perkataan Shannon Alder, seorang penulis perempuan dari Amerika Serikat.

Terkait cerita, ada banyak cerita di sebuah sekolah home schooling komunitas (SHS) tempat anak saya, Muhammad Alham Navid, bersekolah selama empat tahun belakangan ini.

Aneka cerita dan aneka rasa yang bukan saja dialami dan dirasakan Alham sebagai siswa, namun juga ibundanya yang tiap hari mengantarjemputnya bersekolah.

Cerita perjuangan

Alham mulai bersekolah di SHS pada 2016 dengan status siswa pindahan.

Saat itu ia pindah dari salah satu sekolah dasar (SD) swasta di Jagakarsa, Jakarta Selatan, selepas pembagian rapor kenaikan kelas di kelas 2 SD.

Meskipun Alham dinyatakan naik ke kelas 3, kami sebagai orang tua terpaksa memindahkannya karena ada banyak kasus perisakan (bullying) yang dialaminya sejak kelas satu oleh siswa dan oknum guru. Mulai dari dikeroyok beramai-ramai di kelas, alat-alat sekolahnya dirampas paksa hingga didorong jatuh dari tangga sekolah.

Segala perisakan tersebut sempat membuatnya mengalami trauma psikis, kerap bermimpi buruk, dan bicaranya menjadi gagap. Padahal semasa di TK, karena kemampuan berkomunikasinya, ia justru sering diminta menjadi MC (Master of Ceremony) atau pembawa acara di acara-acara sekolah.

Di samping itu, hanya segelintir guru di sekolah itu yang dapat memahami gaya belajar Alham yang kinestik-visual dan super-aktif. Orang bilang ia lasak.

Sebagian ada yang menuduhnya mengidap autisme atau ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Meskipun tuduhan itu terpatahkan dengan hasil pemeriksaan psikolog yang menyatakan bahwa Alham tidak mengidap autisme atau ADHD. Bahkan IQ-nya 120. Dan di kelas 1, ia sering masuk ranking sepuluh besar.

Beban pelajaran dan jam pelajaran yang kelewat padat di sekolah itu juga seringkali membuatnya kelelahan dan bahkan enggan pergi ke sekolah.

Dalam 5 hari sepekan, jam belajarnya terentang dari pukul 7 pagi hingga setengah dua siang. Belum lagi jika ada jadwal ekstrakurikuler wajib di akhir pekan.

Alhasil, demi kenyamanan dan ketenteraman batin putera semata wayang kami, lewat riset di Internet, kami mencari-cari sekolah alternatif yang dipandang cocok bagi Alham.

Dengan mempertimbangkan rekomendasi psikolog tempat kami berkonsultasi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (F-PSI UI) Depok, kami memilih sekolah home schooling tersebut dengan pertimbangan jumlah siswa yang tidak lebih dari sepuluh orang per kelas. Juga relatif lebih menoleransi gaya belajar Alham yang dinamis.

Termasuk juga mempertimbangkan metode belajar ala home schooling komunitas yang hanya menetapkan 3 hari dalam sepekan sebagai hari sekolah.

Alhamdulillah, setelah beberapa lama di SHS dan juga konsultasi intensif ke psikolog, lambat laun Alham mulai bisa bangkit dari trauma psikisnya, terutama mengenyahkan trauma untuk pergi ke sekolah. Bicaranya pun kembali lancar.

Sedikit banyak perjuangan kami sebagai orang tua mulai menampakkan hasil nyata. Meskipun memang belum tuntas dan tidak boleh puas karena sejatinya ini perjuangan sepanjang hayat.

Cerita persahabatan

Sebagai pendamping setia Alham selama bersekolah di SHS, istri saya kerap bersua dengan sesama ibu-ibu yang juga mengantarjemput putera-puterinya bersekolah di SHS.

Ada tempat favorit tempat ibu-ibu bercengkerama selama menunggui anak-anaknya bersekolah, yakni saung. Tempatnya persis di depan sekolah tersebut. Tak heran mereka sering dijuluki "emak-emak saung". Istri saya termasuk bagian dari kelompok tersebut.

Tampaknya keakraban yang terbina di antara mereka menumbuhkan persahabatan yang mengasyikkan antarsesama wali murid atau emak-emak saung.

Mereka tidak hanya saling berbagi cerita dan tawa, masak bareng atau belanja bersama. Juga bertukar ilmu dan informasi berharga khususnya seputar parenting dan kesehatan atau pengobatan herbal alternatif.

Banyak orang hebat yang menjadi wali murid di sekolah tersebut, mulai dari insinyur, pakar teknologi informasi (TI), jurnalis, arsitek hingga dokter. Termasuk salah seorang dokter yang juga menekuni pengobatan herbal alternatif.

Saya rasa istri saya termasuk beruntung menjadi bagian dari kelompok emak-emak saung yang banyak mendapat pencerahan dari Bu Dokter seputar parenting, psikologi anak dan kesehatan. Banyak rekomendasi obat-obatan herbal prebiotik dan probiotik yang didapatkan dari Bu Dokter. Demikian juga tips pengobatan alternatif.

Saking seringnya istri saya bercerita tentang ilmu yang didapatnya dari pergaulan dengan emak-emak saung, sering saya, dengan gaya bercanda, menyebutnya sedang kuliah lagi di USW.

University of South Wales? Bukan salah satu universitas favorit di Inggris Raya itu, tetapi University of Sawung.

Tampaknya persepsi negatif saya, dan mungkin banyak orang, tentang pergaulan emak-emak hanya bergosip atau ngobrol ngalor-ngidul menghabiskan waktu harus diubah. Ternyata ada pertukaran ilmu, cerita hidup dan pengalaman diri yang berharga di sana. Termasuk juga bertukar rasa persahabatan dan silaturahim yang hangat.

Sehingga, kendati kedua anak Bu Dokter tidak lagi bersekolah di SHS, tali silaturahim dan persahabatan mereka tetap terjalin kuat hingga saat ini. Dalam istilah bahasa Betawi, "nggak mati obor".

Cerita perpisahan

Seperti gado-gado, cerita-cerita selama di SHS, yang saya ketahui dan dengar dari istri saya, juga beraneka ragam. Selain cerita perjuangan inspiratif dan cerita indah persahabatan, ada juga cerita perpisahan yang mengharukan.

Terutama perpisahan dengan sebagian wali murid yang awalnya sama-sama bercengkerama di saung atau di HSA. Ada yang karena problem biaya, ketidakcocokan sistem belajar, suami pindah tugas atau karena pindah rumah.

Demikian juga perpisahan dengan beberapa guru yang akrab dengan anak-anak dan wali murid. Baik karena pindah kerja, masalah keluarga maupun alasan pribadi lainnya.

Bagaimanapun setiap orang punya pilihan masing-masing untuk menjalani hidupnya, bagaimana dan dengan cara apa.

Karena setiap orang berhak atas kehidupan yang lebih baik untuk dirinya dan keluarganya, juga bangsa dan negaranya. Dalam hal itu perbaikan adalah keniscayaan. Terutama dalam dunia pendidikan Indonesia.

Dan salah satu cara untuk memperbaiki diri adalah dengan lebih banyak mendengarkan saran orang lain. Sebab itulah hikmahnya Allah berikan manusia dua telinga dan satu mulut, alih-alih dua mulut dan satu telinga.

Apalagi jika kita ingin nama kita kelak terpahat di hati dan terpatri di benak orang lain dan dikenang dengan cerita-cerita baik tentang kita, sebagaimana kutipan perkataan Shannon Alder tersebut di atas.

Itu tentu saja sesuatu hal yang kita semua inginkan. Bukan hanya para wali murid, para guru atau para penyelenggara pendidikan di Indonesia. 

Dan pesan Shannon Alder tersebut terasa kian kuat di Hari Anak Sedunia 2020 ini, mengetuk para orang tua dan para pihak untuk lebih peduli kesejahteraan anak termasuk persoalan kesejahteraan pendidikan dan mental mereka.

Jakarta, 20 November 2020

Baca Juga:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun