Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

HRS Langgar Protokol Covid-19, Kenapa Jokowi Diam?

16 November 2020   01:25 Diperbarui: 16 November 2020   02:15 1571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana penyambutan HRS di Bandara Soetta/Foto: sindonews.com

Dalam sepekan ini ada keanehan tersendiri di jagat perpolitikan nasional.

Ini terkait sepak terjang Habib Rizieq Shihab (HRS), suatu sosok fenomenal dalam konstelasi politik nasional yang bahkan penyebutan namanya secara langsung, termasuk juga pemuatan fotonya, terlarang di Facebook (FB) dengan alasan "melanggar standar komunitas" atau "orang atau organisasi berbahaya". Jika dalam film Harry Potter, dialah the man-you-know-who.

Nah, keanehan apakah itu?

Begini, tidak biasanya Presiden Jokowi dan para pejabat pemerintah pusat anteng-anteng saja menanggapi isu pelanggaran protokol kesehatan (prokes) COVID-19 yang diduga dilakukan pihak HRS. 

Mulai dari acara penyambutan kepulangan HRS di bandara Soekarno-Hatta (Soetta), kunjungannya ke Gadog Bogor untuk peresmian masjid senilai 50 miliar rupiah hingga perayaan maulid dan resepsi nikahan puterinya (Syarifah Najwa Shihab) yang dihadiri ribuan orang di tengah kondisi pandemi COVID-19. 

Kena denda pelanggaran prokes Rp50 juta? Langsung dibayar lunas, setidaknya demikian menurut pengakuan pihak HRS. 

Beda kasusnya dengan Habib Bahar bin Smith yang sampai dibui karena pelanggaran prokes covid 19 karena penyelenggaraan Isra Mi'raj di Bogor. Padahal belum lama sang habib nyentrik itu dibebaskan karena mendapat dispensasi asimiliasi COVID-19. 

Jika pun ada orang Pusat yang bersuara, itu pun tak segarang yang diduga, hanya ketua Satgas Doni Monardo dan Kapolri. Lebih lantang teriakan Nikita Mirzani (Nikmir) dan Dokter Tirta serta barisan pendukung pemerintah, yang kerap dinamai "tim buzzeRp". 

Lantas ada apa ini? Kemana suara Menkopolhukam Mahfud, yang sebelum kepulangan HRS, yang bersuara keras soal pentingnya sang habib mematuhi prokes COVID-19? Kenapa Jokowi dkk diam? Takutkah mereka? 

Sebagian kalangan ada yang menyebutnya "rizieqphobia", suatu bentuk ketakutan pemerintah terhadap sosok HRS yang dianggap punya massa besar dan mengakar (grass root) kuat.

Sebagai mantan jurnalis yang pernah berkecimpung di dapur politik parpol di awal Reformasi (awal 2000-an) sebagai tim media dan tim strategi, saya punya perspektif berbeda. Hemat saya, jika pun ada ketakutan itu, seberapa pun kadarnya, tidak layaklah dipertontonkan dengan telanjang. 

Jika yang ada adalah keheningan seperti ini, justru menyingkap strategi yang sebenarnya mudah dibaca para pengamat yang jeli bahwa sejatinya Jokowi dan Pemerintah Pusat memainkan "politik rizieqphobia" yang artifisial. Barisan think-thank dan spin doctor tentu sudah merencanakan matang-matang perihal politik diam atau politik pembiaran ini.

Dari arah serangan opini, yang kentara dimainkan gerombolan pendengung (buzzer), tampaknya ada taktik bola karambol yang dimainkan, setidaknya berdasarkan instruksi "Kakak Pembina". Dengan satu bola, ada dua target yang dibidik, yakni AB dan HRS. 

Kendati Gubernur Anies Baswedan sudah jauh-jauh hari menyatakan bahwa urusan karantina HRS sepulang dari Arab Saudi adalah urusan Pemerintah Pusat (termasuk juga menyatakan bahwa kegiatan pengumpulan massa oleh HRS tidak berizin), diamnya Pusat bisa dimaknai sebagai "jebakan betmen" bagi Anies.

Tampak jelas dibangun opini bahwa Anies tidak becus, tidak berdaya menghadapi HRS yang "berjasa" bagi karier politiknya. Ini mencederai reputasi Anies sebagai gubernur, sekaligus diniatkan mencederai peluang dan elektabilitasnya sebagai capres potensial 2024.

Di sisi lain, isu Revolusi Akhlak yang digaungkan HRS digergaji Nikmir dkk dengan pancingan isu remeh temeh di medsos yang sayangnya ditanggapi berlebihan. Ibarat nyamuk, cukuplah digaplok, tidak perlu diberondong bazzoka. Itu sebuah kemubaziran. Sekaligus juga merendahkan martabat. 

Diperparah lagi dengan pendeknya ingatan publik betapa mulut Ahok, semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta, jauh lebih lebih lagi. Ini jika mau perbandingan yang bodoh-bodohan. Dan warganet yang selalu benar pun tergiring arus, bagai busa terombang-ambing dipermainkan ombak lautan lepas.

Dan sebagaimana permainan karambol yang belum berakhir jika masih ada biji yang tersisa di meja, demikian juga pertarungan ini. Akan ada jebakan lain yang dipasang, atau strategi alternatif yang dimainkan atau bahkan langkah kontrastrategi dari kedua belah pihak.

Sayangnya, sebagaimana nasib pelanduk yang terjepit di tengah-tengah pertarungan para gajah, selalu saja rakyat yang menjadi korban antara lain karena dampak politik diam atau politik pembiaran demi tujuan politik tersebut atau dengan alasan apa pun.

Jakarta, 16 November 2020

Baca Juga:

1. wahai-nabi-yang-tak-minta-dibela

2. warkop-bernama-kompasiana

3. episode-banjir-jakarta-lagi

4. emmanuel-macron-dan-billy-milligan

5. kenangan-hari-pertama-menjadi-ayah

6. tiga-jurus-menulis-dari-para-maestro

7. balada-remaja

8. ustaz-radikal                                                                                                                                                        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun