Sebagai mantan jurnalis yang pernah berkecimpung di dapur politik parpol di awal Reformasi (awal 2000-an) sebagai tim media dan tim strategi, saya punya perspektif berbeda. Hemat saya, jika pun ada ketakutan itu, seberapa pun kadarnya, tidak layaklah dipertontonkan dengan telanjang.Â
Jika yang ada adalah keheningan seperti ini, justru menyingkap strategi yang sebenarnya mudah dibaca para pengamat yang jeli bahwa sejatinya Jokowi dan Pemerintah Pusat memainkan "politik rizieqphobia" yang artifisial. Barisan think-thank dan spin doctor tentu sudah merencanakan matang-matang perihal politik diam atau politik pembiaran ini.
Dari arah serangan opini, yang kentara dimainkan gerombolan pendengung (buzzer), tampaknya ada taktik bola karambol yang dimainkan, setidaknya berdasarkan instruksi "Kakak Pembina". Dengan satu bola, ada dua target yang dibidik, yakni AB dan HRS.Â
Kendati Gubernur Anies Baswedan sudah jauh-jauh hari menyatakan bahwa urusan karantina HRS sepulang dari Arab Saudi adalah urusan Pemerintah Pusat (termasuk juga menyatakan bahwa kegiatan pengumpulan massa oleh HRS tidak berizin), diamnya Pusat bisa dimaknai sebagai "jebakan betmen" bagi Anies.
Tampak jelas dibangun opini bahwa Anies tidak becus, tidak berdaya menghadapi HRS yang "berjasa" bagi karier politiknya. Ini mencederai reputasi Anies sebagai gubernur, sekaligus diniatkan mencederai peluang dan elektabilitasnya sebagai capres potensial 2024.
Di sisi lain, isu Revolusi Akhlak yang digaungkan HRS digergaji Nikmir dkk dengan pancingan isu remeh temeh di medsos yang sayangnya ditanggapi berlebihan. Ibarat nyamuk, cukuplah digaplok, tidak perlu diberondong bazzoka. Itu sebuah kemubaziran. Sekaligus juga merendahkan martabat.Â
Diperparah lagi dengan pendeknya ingatan publik betapa mulut Ahok, semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta, jauh lebih lebih lagi. Ini jika mau perbandingan yang bodoh-bodohan. Dan warganet yang selalu benar pun tergiring arus, bagai busa terombang-ambing dipermainkan ombak lautan lepas.
Dan sebagaimana permainan karambol yang belum berakhir jika masih ada biji yang tersisa di meja, demikian juga pertarungan ini. Akan ada jebakan lain yang dipasang, atau strategi alternatif yang dimainkan atau bahkan langkah kontrastrategi dari kedua belah pihak.
Sayangnya, sebagaimana nasib pelanduk yang terjepit di tengah-tengah pertarungan para gajah, selalu saja rakyat yang menjadi korban antara lain karena dampak politik diam atau politik pembiaran demi tujuan politik tersebut atau dengan alasan apa pun.
Jakarta, 16 November 2020
Baca Juga: