Ketika hape ditutup, aku masih berharap dapat menemani istriku di ruang operasi jika hari itu juga ia harus menjalani operasi caesar.
Prediksiku, operasi, jika harus dilakukan, adalah sekitar pukul lima sore. Dan aku masih bisa mengejarnya dengan pulang dari kantor pukul empat sore. Untuk pergi ke rumah sakit, sudah ada ibu mertua, paman istri dan adik iparku yang mengantar. Lengkap sudah armada dan sopir menuju medan jihad.
Persis jam satu siang, setelah sholat Zuhur, ibu mertua menelepon.
"Salam, Yuni jam satu ini dioperasi. Tanda tangan suami sudah ibu wakilkan," ujar ibu mertua.
Alamak. Rupanya tanpa tes lab lagi operasi caesar dimajukan 4 jam. Sebagai suami, aku merasa tak lengkap. Karena bukan aku yang menandatangani surat persetujuan operasi caesar istriku. Dan aku tak dapat mendampingi istriku di ajang hidup mati itu. Aku pun segera menuju RS.
Tiba di rumah sakit, di tengah macetnya lalu lintas dan mendungnya Jakarta, pukul setengah dua lewat, aku bergegas memburu lift ke lantai 4, sesuai info dari adik iparku via sms.
Memang isti'jal alias tergesa-gesa itu tidak baik. Aku memang tiba di lantai 4. Tapi bukan lantai 4 tempat ruang operasi.
Ola la, ternyata rumah sakit itu punya dua gedung yang dibangun menyatu. Alhasil, ada dua lantai 4 dalam satu bangunan.
Aku, berbekal petunjuk petugas cleaning service yang simpatik dan baik budi, turun lagi ke lantai 2 dan berbelok ke kiri dari tempatku naik lift yang pertama. Inilah titik persambungan dua gedung itu.
Alhamdulillah, di lantai 4 yang benar-benar tujuanku, aku ketemu dengan rombongan pengantar istriku yang juga wajah mereka tak kalah pias. Terutama ibu mertua. Maklum, bayiku adalah cucu pertamanya. Sementara Wak Ngah, salah satu paman istri, berusaha menenangkan kami.
"Tenang ajalah. Ayah malah waktu itu lihat langsung persalinan caesar Eka. Lancar-lancar aja kok. Sekarang semua sudah canggih. Sudah biasa itu dicesar. Aman, Insya Allah," ujarnya memberi semangat. Aku yang duduk di kursi pojok tersenyum basa-basi.