Banjir adalah sebuah bencana. Luapan air bah yang merendam rumah dan harta benda warga diyakini berdampak secara mental pada sebagian warga. Itulah kenapa para pakar psikologi berpendapat para korban banjir memerlukan layanan terapi mental dan psikologis.
Alhasil, berbagai pihak yang berduyun-duyun turun ke lapangan seperti parpol, LSM atau yayasan sosial juga menyertakan para psikolog dalam program bakti sosial untuk para korban banjir.
"Namanya siapa, Bapak?" tanya sang psikolog muda dan cantik kepada seorang korban banjir yang tampak tertekan. Wajah tuanya tampak semakin tua.
"Mahmud bin Marzuki."
"Pak Mahmud, apa yang Bapak rasakan sekarang?"
Pak Mahmud terdiam. Ia bingung. "Ape ye? Nggak, nggak berasa ape-ape."
"Yakin?"
"Fifty-fifty."
Sang psikolog kaget. Wah, ketularan kuis lawas nih orang!Â
Tapi ia tetap tabah. Sambil menatap Pak Mahmud yang juga memandanginya, sang psikolog terdiam sambil berpikir keras. Maklum, ia baru lulus kuliah psikologi. Ini adalah proyek terapinya yang pertama.
"Begini, Pak. Saya rasa..."
Pak Mahmud tersenyum genit.
"Ehm, emang Non berasa apa sama saye? Iye sih, tadinya saye enggak berasa ape-ape. Tapi saye sekarang berasa suka sama Non. Non cakep sih!"
Sang psikolog kaget berganda. Dasar playboy tua!
Setelah susah-payah mencoba mengusir pasien pertama, tiba giliran pasien kedua.
Seorang kakek-kakek. Usia kira-kira tujuh puluh tahun. Demikian yang dicatat sang psikolog dalam buku catatan prakteknya. Sementara sang istri pasien duduk mendampingi kakek tersebut yang tampak tegang.
"Nah, Pak Toto, apa yang Bapak rasakan?"
"Macam-macam. Pusing, sedih. Campur aduk."
Sang Psikolog tersenyum. Bingo!
Ia mengeluarkan selembar kertas dan menuliskan kata STRESS dengan huruf besar-besar.
"Pak, coba baca ini. Inilah yang Bapak rasakan. Apa? Coba sebutkan?" tanya sang psikolog seraya memampangkan lembaran kertas itu di depan pasiennya.
Pak Toto menatap tajam kertas itu. Mulutnya menganga. Istrinya juga tampak tegang.
Ya, Tuhan, betapa stressnya mereka! Sang psikolog membatin.
"Saya tidak bisa baca, Bu," ujar pak Toto. "Pusing saya!"
Sang psikolog mengangguk-angguk. Ia coba berempati. Memang ketegangan dan tekanan mental dapat menghilangkan sebagian kecerdasan orang, pikirnya menganalisis.
"Santai saja, Pak," senyum sang psikolog menenangkan. "Saya paham tekanan mental Bapak sangat besar. Tapi saya yakin jika Bapak dapat lebih rileks, Bapak pasti bisa membaca tulisan ini."
"Masa sih, Bu?" Kali ini sang istri pasiennya yang bertanya.
"Betul, Bu. Asal Bapak Toto lebih rileks pasti Bapak bisa. Ibu tenang saja."
"Tenang bagaimana, Bu? Wong suami saya ini memang tidak bisa baca dari kecil. Alias buta huruf. Disuruh ikut kejar Paket A mabur terus!" sungut istrinya.
Oh, my God, it happened again! Wajah sang psikolog memerah.
"Tapi, kalo Ibu bisa, tolong ajarin suami saya membaca ya, Bu. Caranya gimana tadi? Rileks ya?" tanya istri Pak Toto penasaran.
Sang psikolog muda menggaruk-garuk kepala tak gatal.
Jakarta, 2 November 2020
Baca Juga:Â
1. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f984442d541df3f223bf832/episode-banjir-jakarta
2. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f9e7356d541df610e4cb5c5/wahai-nabi-yang-tak-minta-dibela
3. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f9ef562d541df19eb7279f3/warkop-bernama-kompasiana
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H