Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kado Sumpah Pemuda: Megawati Versus Kaum Milenial

28 Oktober 2020   21:09 Diperbarui: 29 Oktober 2020   14:07 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri/Foto: Antara

Pernyataan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dalam Hari Peringatan ke-92 Sumpah Pemuda yang menyoalkan kontribusi pemuda atau kaum milenial sungguh merupakan "kado istimewa" di hari peringatan bersejarah ini.

"Anak muda kita, aduh saya bilang sama presiden, jangan dimanja, dibilang generasi kita adalah generasi milenial. Saya mau tanya hari ini, apa sumbangsihnya generasi milenial yang sudah tahu teknologi seperti kita bisa viral tanpa bertatap langsung, apa sumbangsih kalian untuk bangsa dan negara ini?" ujar Megawati dalam sambutannya dalam acara peresmian Kantor DPD (Dewan Pimpinan Daerah) PDIP Yogyakarta secara virtual pada Rabu, 28 Oktober 2020.

Puteri proklamator Bung Karno itu juga mempertanyakan peran generasi milenial yang dianggapnya hanya bisa berdemo atau unjuk rasa saja.

Hal itu tampaknya mengacu pada aksi anarkistis sebagian elemen demonstran dalam Aksi Tolak UU Ciptaker sejak 8 Oktober 2020.

Lontaran Mega seakan mengonfirmasikan pelabelan stereotip generasi milenial yang sering dijuluki "generasi rebahan" atau "generasi micin".

Terlepas dari abainya, mungkin karena faktor usia, Mega akan kontribusi milenial dalam derap ekonomi disruption (bisnis perintis atau start-up, misalnya), termasuk kontribusi Mas Menteri Nadiem Makarim sebagai pendiri Gojek, pernyataan istri mendiang Taufiq Kiemas itu menguak wacana menarik.

Sebuah wacana bahwa kita layak mengevaluasi dan berintrospeksi apakah kontribusi pemuda bagi bangsa yang selama ini didengung-dengungkan, di mana peristiwa Sumpah Pemuda secara kolektif dikenang sebagai tonggak historis, merupakan mitos atau fakta.

Kahlil Gibran berkata, "Kita semuanya terpenjara, namun beberapa di antara kita berada dalam sel berjendela. Dan beberapa lainnya dalam sel tanpa jendela."

Mitos adalah bagian dari salah satu penjara tersebut.

Kendati, dalam konteks kebangsaan, kadang mitos memang diperlukan untuk membangkitkan semangat patriotisme atau bela bangsa. Seperti halnya mitos Al Qaeda dan Osama bin Laden, setidaknya demikian yang diyakini para kritikus, yang dimanipulasi Presiden George W. Bush untuk memantik patriotisme bangsa Amerika selepas tragedi 11 September 2001.

Namun, mitos yang kelewat megah juga acapkali membelenggu dan memanjakan para pemuja yang menganggapnya sebagai hal yang taken for granted, diberikan begitu saja. Padahal realitas keseharian kita membuktikan bahwa there's no free lunch, tidak ada di dunia ini yang gratis. Semua perlu ikhtiar dan tekad kuat.

Versi resmi catatan sejarah nasional berbicara bahwa pada setiap pergolakan kekuasaan di negeri ini kalangan muda selalu tampil terdepan.

Sebut saja mulai dari Dokter Soetomo dari STOVIA, sebuah sekolah dokter Jawa yang didirikan Belanda, yang mendirikan Boedi Utomo. Gerakan-gerakan perjuangan kebangsaan tersebut memuncak pada 1928 ketika berbagai organisasi pemuda dari berbagai penjuru nusantara menyatukan tekad kebangsaan pada Kongres Pemuda II di Jakarta.

Saat proklamasi 1945, Soekarno dan rekan-rekan yang berusia 45-an tahun bergerak mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.

Tahun 1966, Soe Hoek Gie dkk gantian menggulingkan rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno, tokoh pemuda yang berubah menjadi tiran.

Tahun 1974, Hariman Siregar cs menggoyang hegemoni investasi Jepang di Indonesia di bawah rezim Orde Baru pimpinan Soeharto.

Tahun 1998, gerakan reformasi 1998 yang dimotori kalangan mahasiswa melengserkan Soeharto, seorang perwira muda berusia 46 tahun yang menggantikan Soekarno sebagai presiden Republik Indonesia melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966, dan menjelma menjadi diktator yang berkuasa selama 32 tahun.

Selepas 1998 pun berbagai aksi demonstrasi, sebuah fakta yang kasat mata, banyak dilakukan pemuda dalam hal ini kalangan mahasiswa dan intelektual muda. Termasuk aksi demonstrasi penolakan Revisi UU KPK dan Omnibus Law di era Presiden Jokowi.

Ada pertanyaan besar: Apakah semua itu murni kontribusi pemuda? Tidakkah kelewat berat beban sejarah tersebut dipanggul sendirian oleh kalangan muda sebagai satu kalangan dari banyak elemen penyusun sebuah bangsa?

Namun, ada sebuah pertanyaan besar lain: apakah pemuda lebih merupakan kata sifat atau kata benda? Perhatikan berbagai fakta sejarah tersebut di atas.

Sebagai kata sifat, ia tidak butuh rupa fisik yang gagah. Sepanjang ia memiliki semangat dan visi perubahan, ia adalah pemuda.

Sebagai kata benda, ia memang harus muda, cerdas dan lincah selayaknya Barack Obama, misalnya. Tapi banyak orang-orang muda gagah, berusia belia yang pemikirannya hanya menyalin ide-ide lama bahkan anti-perubahan. Apakah mereka layak disebut pemuda dalam artian sebenarnya?

Singkatnya, secara ideal, pemuda adalah kata sifat dan kata benda. Seorang pemuda selain berusia muda juga memiliki visi perubahan (ke arah yang lebih baik) dan memiliki semangat antusiasme yang besar.

Jika ada standar saklek, itulah perubahan. Pemuda adalah perubahan. Itu harga mati.

"Orang lanjut usia yang berorientasi pada kesempatan adalah orang muda yang tidak pernah menua. Tetapi pemuda yang berorientasi pada keamanan telah menua sejak muda," ujar seorang motivator Indonesia, Mario Teguh.

Soekarno muda pada 1945, tatkala berusia 44 tahun, adalah seorang pendobrak. Tetapi ketika ia tidak mau berubah, ia menjadi tiran, dan menua.

Soeharto muda mendobrak kesuraman ekonomi bangsa selepas 1966 dengan konsep pembangunan Repelita terencana. Tapi ketika ia tidak mau berubah baik karena alasan kroni atau korupsi, ia anti perubahan, ia menua. Lagi-lagi pemuda adalah perubahan.

Demikian hukum semesta yang berlaku pada kalangan pergerakan dari Akbar Tanjung dkk (1966), Hariman Siregar dkk maupun kalangan aktivis pergerakan 98 dan angkatan-angkatan pemuda yang akan terus bermunculan.

Dalam konteks anatomi sejarah peradaban, kepemimpinan pemuda adalah hal yang alamiah, fitrah. Di usia tua, seseorang cenderung lebih banyak berpikir (man of ideas) dan akibatnya cenderung lebih ragu atau takut memulai untuk sesuatu yang baru. Sementara pemuda, dengan kemudaannya dan semangat menyala, cenderung bertindak (man of action).

Namun, dalam banyak riwayat perjalanan sejarah, kalangan tua terbukti banyak menyokong kalangan muda. Ini artinya kepemimpinan muda bukanlah hal yang kelewat istimewa atau megah, yang harus dipuja-puja dengan meninggalkan atau bahkan menginjak kalangan tua. Ia hanyalah merupakan pergiliran alamiah.

Maka memperbincangkan kontribusi pemuda bagi bangsa adalah memperbincangkan sebuah bangsa secara utuh, tidak bisa terlepas dari kontribusi elemen bangsa yang lain termasuk kalangan tua.

Alhasil, kontribusi pemuda adalah sebuah fakta sejarah. Namun sejatinya pemuda adalah bagian dari barisan elemen anak bangsa yang tidak bisa berdiri sendiri. Dalam sebuah keluarga besar tidak semua harus maju terdepan.

Seperti kata Isaac Newton, "I could see farther because I was standing on the giants' shoulders."

Jika para pemuda dapat memandang lebih jauh ke depan, itu juga karena berpijak pada pengalaman dan kontribusi para raksasa tua sebelumnya. 

Akhirul kalam, dalam konteks petuah orang tua kepada anaknya, sentakan pernyataan Mega dapat dimaklumi. Kendati, sebagaimana layaknya para orang tua kita, kita juga harus memaklumi jika Mega melupakan fakta-fakta sejarah lainnya.

Jakarta, 28 Oktober 2020

Referensi: [1] [2]

Baca Juga: 

1. Misinformasi Versus Disinformasi  

2. Buat Apa Tunda Pilkada?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun