Mengapa Istana memilih diksi "disinformasi" alih-alih "misinformasi"?
Tentu banyak pertimbangan di baliknya. Karena tidak mungkin pilihan kata dalam pidato kepresidenan yang dilakukan secara tertulis itu tidak ditimbang baik-baik oleh tim penulisnya.
Dengan memilih diksi "disinformasi", jelaslah bahwa Istana menganggap informasi salah yang beredar di media sosial atau di kalangan masyarakat seputar Omnibus Law atau UU Ciptaker (yang kerap dipelesetkan sebagai UU Cilaka sesuai nama awal beleid tersebut) bukanlah tanpa kesengajaan atau sekadar misinformasi.
Jelaslah ada pihak-pihak yang dengan sengaja menyebarkan dan menggoreng informasi tersebut, setidaknya demikian menurut anggapan Jokowi dan Istana.
Alhasil, dipilihlah kata "disinformasi" untuk menyimbolkan maksud pemerintah. Tentu sah-sah saja pilihan kata tersebut.
Terlebih lagi mendiang Pramoedya Ananta Toer, sang sastrawan yang masyhur dengan tetralogi Bumi Manusia, mengibaratkan sebuah kata itu laksana tanah lempung yang bebas dibentuk sesuka hati. Apalagi jika berada di dalam genggaman tangan penguasa.
Jakarta, 25 Oktober 2020
Referensi:
3. https://kbbi.web.id/disinformasi
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!