Contoh misinformasi yang aktual adalah ketika beredar isu di media sosial bahwa mantan wakil presiden Hamzah Haz meninggal dunia pada Senin, 19 Oktober 2020.
Namun, berdasarkan penelusuran Detik.com, Â Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai yang menaungi Hamzah Haz, menampik isu tersebut.
Menurut Arsul Sani, anggota DPR dari PPP, mantan wapres pendamping Presiden Megawati (2001-2004) tersebut masih hidup, dan tengah dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, karena menderita gangguan fungsi organ.
"Misinformasi" atau "misinformation" didefinisikan dalam kamus Merriam-Webster sebagai "informasi yang tidak sepenuhnya benar atau akurat" (information that is not completely true or accurate).
Sayangnya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak ditemukan lema "misinformasi".
Berbeda halnya dengan "disinformasi".
KBBI tegas mendefinisikan "disinformasi" sebagai "penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain".
Sementara definisi "disinformasi" (disinformation) versi kamus Merriam-Webster adalah "informasi palsu yang disebarkan secara sengaja dan secara samar (sebagaimana dengan menanamkan rumor) untuk mempengaruhi opini publik atau mengaburkan kebenaran" (false information deliberately and often covertly spread (as by the planting of rumors) in order to influence public opinion or obscure the truth). Jauh lebih tegas dan komprehensif.
Contoh anyar penggunaan istilah "disinformasi" adalah dalam pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebagaimana dilansir oleh Kompas.com, yang menanggapi unjuk rasa (unras) penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang disahkan pada 8 Oktober 2020.
"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari UU ini dan hoaks di media sosial," ujar Jokowi dalam konferensi pers virtual dari Istana Kepresidenan, Bogor, pada 9 Oktober 2020.
Mengapa Istana memilih diksi "disinformasi" alih-alih "misinformasi"?
Tentu banyak pertimbangan di baliknya. Karena tidak mungkin pilihan kata dalam pidato kepresidenan yang dilakukan secara tertulis itu tidak ditimbang baik-baik oleh tim penulisnya.
Dengan memilih diksi "disinformasi", jelaslah bahwa Istana menganggap informasi salah yang beredar di media sosial atau di kalangan masyarakat seputar Omnibus Law atau UU Ciptaker (yang kerap dipelesetkan sebagai UU Cilaka sesuai nama awal beleid tersebut) bukanlah tanpa kesengajaan atau sekadar misinformasi.
Jelaslah ada pihak-pihak yang dengan sengaja menyebarkan dan menggoreng informasi tersebut, setidaknya demikian menurut anggapan Jokowi dan Istana.
Alhasil, dipilihlah kata "disinformasi" untuk menyimbolkan maksud pemerintah. Tentu sah-sah saja pilihan kata tersebut.
Terlebih lagi mendiang Pramoedya Ananta Toer, sang sastrawan yang masyhur dengan tetralogi Bumi Manusia, mengibaratkan sebuah kata itu laksana tanah lempung yang bebas dibentuk sesuka hati. Apalagi jika berada di dalam genggaman tangan penguasa.
Jakarta, 25 Oktober 2020
Referensi:
3. https://kbbi.web.id/disinformasi
Baca Juga: https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f8d9d3c1901df668339e882/anarki-anarkis-dan-anarkisme
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H