Sekian purnama silam.
"Dengar ya. Ini Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja!" sang wakil rakyat mengangkat tinggi-tinggi sebuah buku tebal di hadapan pers.
"Singkatannya apa, Pak?" tanya seorang jurnalis.
"Tak perlu disingkat. Itu saja.Titik!"
Esoknya meletus unjuk rasa buruh besar-besaran.
"Tolak RUU Cilaka!"
"RUU Cilaka bikin celaka demokrasi!"
"Pandemi bikin kami sakit, RUU Cilaka bikin kami mati!"
Si wakil rakyat geram. Ia bergegas menghadap ketua partainya.
"Cilaka, Bos, eh, celaka. Â Ini namanya cilaka 13, eh, celaka 13!" ujarnya sambil menyodorkan berita koran.
"Kita ganti saja besok."
Selang beberapa hari kemudian, tanpa bubur merah putih, RUU itu pun berganti nama menjadi RUU Cipta Kerja.
"Apa singkatannya, Pak?" tanya para pemburu berita.
"Ciptaker." Kali ini jawaban si bapak tambun mantap berkesan.
Para jurnalis pun menuliskannya dengan patuh. Sesuai amanat para pemimpin redaksi, yang sudah dapat bisikan. Termasuk juga para pendengung bayaran yang diupah per cuitan atau per ketikan.
Setengah purnama berjalan. Para buruh berencana mogok nasional selepas RUU Ciptaker disahkan parlemen dengan secepat kilat. Barangkali para wakil rakyat sudah teramat kebelet hingga pingin buru-buru gajian.
Resmi sudah RUU bersalin nama jadi UU Ciptaker.
Warganet menyambutnya dengan mencicit, "Selamat datang UU Ciptaker. UU Cipta Keributan..."
Membacai status medsos di hapenya, si wakil rakyat tersenyum getir. Ia hanya bisa bergumam dalam kamar kerja yang mewah.
"Sorry, Bro, gue butuh makan. Lagipula gue cuman petugas partai. Jangan sok-sokan ya..."
Jakarta, 6 Oktober 2020
Baca Juga:Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H