Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Kucing Hitam

3 Oktober 2020   13:20 Diperbarui: 7 Oktober 2020   19:13 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kucing hitam itu menatap tajam si perampok dengan matanya yang bercahaya dalam gelap.

Gelapnya ruangan dan sunyinya suasana malam membuat tatapan si kucing menggentarkan nyali si perampok. Tapi ia terus mengemasi perhiasan dan uang dalam laci sang pemilik rumah, seorang nyonya tua. Wanita malang yang kini terkapar bersimbah darah di lantai kamar. Perampok itu telah menikamnya berkali-kali.

Penuh sudah kantong yang dibawa si perampok, dengan segenap isi laci yang sangat berharga. Ia tidak perlu tergesa-gesa. Rumah besar itu hanya punya tiga penghuni: sang nyonya tua, seekor kucing hitam dan seorang pembantu yang sedang pulang kampung.

Si perampok melayangkan pandang ke penjuru kamar. Kucing hitam keparat itu masih ada!

Binatang itu berdiri dengan gagah seakan ingin menuntut balas kematian majikannya. Bulunya menyatu dengan gelap, menampakkan sepasang mata bersinar tajam.

Si perampok menyorotkan senter ke arah si kucing.

Ada keanehan. Kuku kucing itu tersembul keluar dalam posisi siaga. Baru kali ini ada seekor kucing bersikap siaga pada orang yang sama sekali tidak mengusiknya. Si perampok memang membunuh si nyonya tapi ia tidak mengusik kucing itu. Ada apa ini?

Naluri keheranannya menggerakkan si perampok untuk memusnahkan kucing tersebut. Dihunusnya belati di pinggang. Tangannya berayun cepat dalam gelap. Mengincar sepasang mata mencorong. Luput. Mata itu berpindah gesit. Belati menghantam ruang hampa.

Si perampok surut ke belakang untuk melakukan dua tiga kali terjangan. Lagi-lagi gagal. Malah perabotan kamar itu yang berantakan diterjangnya.

"Sialan. Baru kali ini gue berantem sama binatang!" gerutu si perampok. "Ini yang terakhir!"

Sekejap si perampok kehilangan mata bercahaya itu. Ia hampir menendang sebuah kursi jika kakinya tidak menginjak ujung ekor kucing tersebut.

Si perampok menarik perlahan-lahan ujung kakinya. Berhasil. Kucing hitam yang membelakanginya, bersiaga di kolong kursi, tidak menyadari bahaya yang mengancam.

"Hush!" teriak si perampok.

Kucing hitam itu terlonjak dan keluar dari persembunyian. Ujung belati yang tajam menyambut bagian tengkuknya. Si kucing meraung kesakitan yang amat sangat. Belati itu rupanya menembus cukup dalam.

Klik. Lampu kamar dinyalakan si perampok dengan senyum kemenangan. Tampaklah bekas perkelahian yang dahsyat barusan: meja kursi yang amburadul dan seonggok bangkai kucing yang meregang maut. Napasnya keluar satu-satu. Tubuhnya turun naik lemah.

Beberapa menit kemudian si perampok masih sempat membongkar lemari si nyonya tua.

Tapi apa itu? Sebayangan hitam berasal dari belakangnya berangsur-angsur membesar. Seperti kucing tapi lebih besar!

Si perampok menoleh ke belakang. Sekonyong-konyong bayangan itu menerkam ganas. Jeritan yang memilukan dan mengiris kalbu pun terlontar dari tenggorokan si perampok. Berkali-kali. Ditingkahi raungan dan geraman kencang.

Belati tajam yang awalnya perkasa kini kuyu dalam genggaman lengan yang tercerai dari pangkalnya. Lengan itu lepas, demikian juga nyawa pemiliknya.

***

Sepagi itu rumah sang nyonya tua sudah ramai.

Ramai polisi yang sibuk mengidentifikasi di tempat kejadian. Tetangga-tetangga berkerumun di depan marka garis polisi. Bermacam-macam obrolan mereka.

Pembantu nyonya yang baru pulang dari kampung menangis meratap-ratap, "Duh, Nyonya, kok begini akhir hidupmu? Dibunuh orang! Huhu..."

Si mbok setengah baya itu sesenggukan. Sebentar-sebentar disekanya airmata dan ingusnya dengan ujung kebaya. Kebaya hadiah lebaran tahun kemarin dari sang nyonya.

Dua jenazah bertutupkan kain tergeletak di ruang tempat kejadian. Yang satu dengan luka tikaman di sekujur badan sudah diketahui siapa gerangan. Jenazah nyonya tua yang malang.

Namun tidak ada yang mengenali mayat lelaki jangkung berambut lurus, berdagu lancip dan bertahi lalat besar di pipi. Siapa dia?

Orang-orang hanya bisa bergunjing dan menunjuk-nunjuk jasad yang penuh luka-luka aneh itu. Luka-luka gigitan dan cakaran. Dan sepotong lengan terserak tidak jauh dari si jasad kaku.

Seorang petugas polisi bertanya kepada si pembantu yang sedang membelai kucing hitam sambil terus meratap.

"Apakah nyonya punya hewan buas? Harimau misalnya?"

"Tidak, Pak. Nyonya hanya piara kucing ini," jawab si pembantu.

Kucing hitam jinak dalam pangkuannya menggeliat dan menguap. Di tengkuk kucing manja itu, di balik bulu hitam mengkilat, ada bekas lubang tusukan sedalam lima senti yang hampir mengering darahnya.

Sang petugas membungkuk memperhatikan luka itu dengan saksama. Seakan ingin meneropong kembali kejadian tadi malam. Malam di mana Tuhan mempertunjukkan kebesaran-Nya. Suatu kebesaran yang dipertunjukkan bagi orang besar.

Orang besar?

Ya, orang besar. Karena nyonya tua tersebut adalah nenek dari seorang jenderal.

Tidak lama kemudian, sang jenderal yang gagah dan bertubuh tegap datang melayat dengan wajah penuh duka. Disibaknya kain penutup muka mendiang nenek tercinta.

Airmata orang besar itu meleleh. Namun ia bukan orang cengeng, ia pejuang. Didikan semasa militer membuatnya tidak berpikir lama untuk segera mengeluarkan titah tugas penting kepada seluruh anak buahnya: Tingkatkan kewaspadaan. Ini ancaman terhadap stabilitas negara!

Si kucing hitam mendadak raib, entah pergi kemana.

Banyak pengamat politik yang menduga si kucing telah dimunirkan demi mengubur memori kejadian misterius malam itu. Ada juga yang menyebutnya pengalihan isu-isu besar negara.

Sementara para praktisi paranormal atau parapsikologi terpecah dalam dua kubu.

Yang satu berteori bahwa si kucing hitam moksa seiring berakhir tugasnya mengawal sang nyonya tua di dunia. Yang lain menganggap si kucing hitam tidak pensiun bertugas, justru melanjutkan baktinya selama di dunia dengan turut mengawal sang majikan di alam abadi, sebagaimana kucing-kucing pengawal para raja Mesir kuno.     

Jakarta, 3 Oktober 2020

Baca Juga: https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f759e233faf6d69005ccaa3/kisah-para-janda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun