Alasan pertama adalah kejujuran dan keberanian Menkeu Sri Mulyani untuk mengakui fakta zona negatif atau kondisi minus atau resesi perekonomian Indonesia tersebut.
Kendati sebagian kalangan menilai pengumuman tersebut terlambat dibandingkan negara-negara lain, seperti Singapura, Malaysia atau Selandia Baru dan Australia yang telah lebih dulu mengakui kondisi resesi di negara masing-masing, bagaimana pun, kejujuran pemerintahan Jokowi yang diwakili Menkeu Sri Mulyani tetap patut diapresiasi. Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?
Dalam kapasitasnya sebagai anak buah presiden, yang mewakili atasannya, menyampaikan suatu berita pahit tentu butuh keberanian dan ketangguhan tersendiri dari seorang SMI. Terlebih lagi yang disampaikan adalah suatu hal yang sensitif di tengah kondisi pandemi COVID 19 saat ini.
Di beberapa negara, pengumuman resesi dan kondisi kesulitan ekonomi lantas diikuti dengan pengunduran diri sang menteri terkait berkenaan dengan tanggung jawab morilnya.
Namun, lain ladang lain ilalang.
Di Indonesia, budayanya berbeda. Budaya pertanggungjawaban tidak selalu diekspresikan dengan mengundurkan diri.
Dalam beberapa hal, mengundurkan diri dari jabatan yang tengah diterpa masalah, bahkan ada kalanya disebut "lari dari medan pertempuran", tinggal glanggang colong playu. Tampaknya demikian juga dengan konteks jabatan Menkeu Sri Mulyani.
Dan, sejak ditunjuk sebagai Menkeu di era SBY (2005-2010) dan di era Jokowi (sejak 2016), SMI, yang juga mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, telah menunjukkan ketangguhannya dengan berdiri terdepan, bahkan terkesan pasang badan melindungi para atasan. Sebut saja, dalam kasus korupsi pajak Gayus Tambunan, kasus megakorupsi Bank Century dan dugaan kasus korupsi jumbo BUMN Asuransi Jiwasraya.
Termasuk juga dalam pengumuman kondisi resesi Indonesia yang, di negara-negara lain, biasanya diumumkan langsung oleh para kepala negara atau kepala pemerintahan.
Alasan kedua adalah dedikasi dan konsistensi seorang SMI dalam perbaikan perekonomian Indonesia. Rekam jejaknya telah secara tegas membuktikan hal tersebut.
Sejak masih wara-wiri di berbagai forum sebagai salah satu pengamat ekonomi terkemuka Indonesia, ketika masih menjadi staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, terutama ketika krisis moneter 1998, SMI banyak berkontribusi terhadap perbaikan perekonomian Indonesia.