Sejak terbakar hebat pada Sabtu malam, 22 Agustus 2020, nyaris sebulan gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) merana menanti kejelasan misteri siapa pembakarnya dan apa motifnya.
Menkopulhukam Mahfud MD yang semula mengaku kaget dengan skala kebakaran Kejagung demikian besar kini belum bersuara lagi.
Jika Mahfud yang sedemikian vokal kini bungkam, apatah lagi menteri lainnya.Â
Eh, terkecuali Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, barangkali, yang juga rajin bersuara di media.Â
Tapi tampaknya Opung LBP lebih tertarik mengomentari soal PSBB dan, tentu saja, investasi. Dari pantauan saya, mantan atasan Prabowo Soebianto di Kopassus ini pun senyap-senyap saja soal perkembangan kasus kebakaran Kejagung.
Alhasil, dugaan liar publik dan warganet berkembang biar. Mulai dari dugaan pelenyapan barang bukti kasus Djoko Tjandra yang melibatkan Jaksa Pinangki serta kasus Jiwasraya hingga kasus korupsi high class lainnya. Maklumlah, peluru liar akan senantiasa berdesing tak tentu arah jika tidak diredam dengan baik dan bijak.
Dan siapakah yang disasar peluru liar tersebut? Kalangan elite politik tentu saja, terutama Presiden Jokowi yang menjelang paripurna pada 2024. Terkait tuduhan soal isu kebakaran, sebetulnya, sejak era jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi telah kenyang dengan tuduhan tersebut.
Pada 2013, politisi Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf menuding Jokowi bertanggung jawab atas masifnya kebakaran di Jakarta pada saat itu. Nurhayati mensinyalir kebakaran sekitar 1.000 rumah di Kelapa Gading saat itu tidak pernah terjadi pada masa kepemimpinan Fauzi Bowo.
"Terus, yang bakar siapa? Yang bakar saya?" tukas Joko Widodo di Jakarta, Ahad, 20 Oktober 2013. Jokowi lantas mengatakan bahwa penyebab utama kebakaran yang sering terjadi di Ibu Kota disebabkan korsleting listrik. Pemukiman padat penduduk serta hunian ilegal menjadi salah satu penyebab seringnya terjadi persoalan listrik.
Tudingan serupa juga pernah dialamatkan kepada Foke atau Fauzi Bowo, pendahulu Jokowi.
"Nanti kebakaran di Suriah, Foke juga disalahin. Masak saya dituduh yang bukan-bukan di akhir masa jabatan saya," ujar Foke ketika menanggapi pesan berantai yang menuding bahwa kebakaran yang banyak terjadi saat itu merupakan "teror yang terstruktur dan sistematis".
Isu kebakaran juga pernah menimpa Sutiyoso, pendahulu Foke, ketika dua pasar besar yang hendak direnovasi, Aldiron Plaza Blok M dan Tanah Abang, hangus. Mantan Pangdam Jaya ini juga menegaskan bahwa tidak ada kaitan antara kebakaran di Aldiron Plaza Blok M dengan rencana renovasi pertokoan itu oleh PD Pasar Jaya.
Lantas bagaimana dengan Anies Baswedan?
Sebagai suksesor Jokowi, sang doktor lulusan Amerika Serikat ini jelas lebih beruntung. Ia tidak mengalami tudingan serupa perihal kasus kebakaran. Kendati Kejagung berada dalam wilayah kekuasaannya sebagai gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Barangkali ini "kompensasi" atas derasnya tudingan kepada Anies dalam lebih banyak kasus lainnya, seperti Reklamasi dan PSBB.
Terlepas dari apa pun berita yang beredar, Jakarta memang dikenal sebagai penyumbang kasus kebakaran tertinggi di Indonesia dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dimaklumi dari tingkat kepadatan Jakarta yang tinggi dan sistem cepat tanggap kebakaran yang belum tertata rapi sejak dulu.
Siapa pembakar Kejagung?
Apa motif pembakaran gedung Kejagung seandainya itu bukan merupakan kebakaran alami tetapi sebuah pembakaran? Banyak pihak berteori macam-macam. Bahkan salah seorang tetangga saya yang bekerja pada sebuah lembaga pemberantasan narkoba punya teori sendiri.Â
Menurutnya, itu jelas pengalihan isu yang sangat besar. Ia mengacu pada peristiwa tawuran di daerah Galur, Jakarta Pusat, yang telah terjadi bertahun-tahun tanpa pernah dapat dihentikan. Â Kabarnya, ada modus komplotan pengedar narkoba untuk memasok narkoba dalam jumlah besar ke kawasan itu di saat tawuran massal antarwarga. Dan tawuran itu hanyalah sekadar decoy atau pengalihan saja.Â
Di saat polisi sibuk melerai perkelahian, pasokan narkoba pun masuk dengan leluasa. Alhasil, langgenglah tawuran di daerah itu kendati berbagai upaya dilakukan pemerintah DKI Jakarta dalam berperiode-periode kegubernuran. Namun tak pernah berhasil.
Dengan analogi serupa, tentu ada yang punya kepentingan besar perihal terbakarnya Kejagung. Jelas apa pun perkara atau isu yang hendak dihanguskan atau dialihkan tentu sangat besar nilai dan kepentingannya. Dan apa pun itu, jelas motif pembakaran itu merupakan konspirasi tersendiri yang melibatkan kepentingan besar dan kelompok besar.
Perihal konspirasi dengan modus pembakaran ini sendiri bukan hal asing sebetulnya.Â
Dalam kumpulan cerpennya berjudul Berhala (1987), sang sastrawan sufi Danarto dalam sebuah cerpen berjudul Gemertak dan Serpihan-Serpihan melukiskan konspirasi pembakaran sebuah perkampungan kumuh karena kawasan itu diincar para pengembang yang kongkalikong dengan oknum penguasa dan pejabat. Itu suatu hal yang lazim di era Orde Baru, suatu era ketika kumcer tersebut diterbitkan.
Dengan kata lain, jikalau pembakaran itu dimaksudkan untuk pengalihan isu, jelas kita telah menari seturut irama tabuhan Kang Gendang.Â
Kang Gendang, jika saya bilang muter, muter ya...
Jakarta, 13 September 2020
Referensi:
2. https://tirto.id/fakta-fakta-12-jam-kebakaran-melumpuhkan-kejaksaan-agung-fZM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H