Pertanyaan itu kerap terlontar dalam berbagai kesempatan. Sejak bertahun-tahun lamanya. Terutama selepas berita wafatnya Jakob Oetama beredar.
"Ya, kita tunggu saja saat upacara pemakamannya. Nanti juga ketahuan," jawab saya enteng saat salah seorang kawan menanyakan pertanyaan serupa.
Dan saat upacara pemakaman Jakob Oetama di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, sebagai hak beliau sebagai penerima Bintang Mahaputra Utama, yang didahului misa tutup peti, terjawablah sudah pertanyaan itu.
Namun, pertanyaan itu bukanlah tanpa dasar.
Berbagai kesaksian dan argumen yang bertolak belakang seputar keyakinan yang dianut Jakob Oetama bertebaran di media. Ada yang bilang bahwa JO, panggilan akrab Jakob Oetama, sudah menjadi mualaf dengan bersyahadat di hadapan Nurcholish Madjid alias Cak Nur.Â
Versi lainnya, ada yang bilang JO bersyahadat dibimbing Gus Dur atau Abdurrahman Wahid. Di kubu ini, ada yang berpendapat bahwa JO menyembunyikan keislamannya karena menjaga hubungan baik dengan kalangan Katholik dan lebih ingin menonjolkan posisi moderatnya.
Di seberangnya, banyak yang bersaksi bahwa JO tetaplah seorang penganut Katholik yang taat karena tetap aktif mengikuti kebaktian di gereja. Dari kubu ini, ada juga pendapat bahwa JO tetap beragama Katholik namun tidak menampakkannya karena menjaga posisinya di Indonesia yang mayoritas Muslim.
Jika ditilik, pendapat terakhir tersebut justru mengonfirmasikan kecurigaan sebagian kalangan Muslim di Indonesia terhadap Jakob Oetama dan grup bisnis Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang dipimpinnya sebagai momok Katholik yang mengancam supremasi dan eksistensi umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia. Itulah stigma yang terbangun sejak lama dan terutama berpuncak ketika kasus polling Tabloid Monitor pada 1990 yang berujung pada vonis lima tahun penjara bagi Arswendo Atmowiloto, pemimpin redaksi Tabloid Monitor, karena delik penistaan agama.
Di era 80-an, Tabloid Monitor, yang dikenal menjunjung jurnalisme lher atau esek-esek, adalah tabloid komersial terpopuler di masanya. Dengan bumbu tampilan "panas" para artis Indonesia di halaman mukanya, tiras Monitor sangat melonjak dibandingkan media sejenis di zamannya.
Sebagai bagian dari KKG, tampaknya JO memberikan kebebasan penuh kepada Arswendo, yang juga sastrawan dan penulis skenario, untuk mengelola penuh Monitor dengan gayanya yang nyeleneh dan urakan. Itu memang cerminan sikap JO yang bijak dan kebapakan, namun tak urung menumbuk batu pada akhirnya. Shit happens anytime, kadang kenahasan atau keapesan akan datang juga.