Sementara tren Efek Mozart sendiri, yang mengabadikan nama Wolfgang Amadeus Mozart, mulai booming di Indonesia dengan diawali sebuah buku, yang terjemahan bahasa Indonesianya, berjudul Efek Mozart. Konon, diyakini, musik klasik dengan komposisi musik yang khas mampu merangsang sel-sel otak janin yang sedang bertumbuh dalam kandungan.Â
Bahkan, di sebuah rumah sakit swasta tempat istriku biasa memeriksakan kandungan, sang dokter sempat memutarkan lagu klasik bernada ceria untuk merangsang respons si Dedek. Di layar USG, si janin pun tampak bergoyang-goyang aktif plus lucu. Alhamdulillah, pertanda ia normal, itu kata sang dokter berjilbab yang keibuan.
Sebagai orang yang berpandangan eklektik (catatan: berpikir terbuka dan inklusif), aku tidak mengharamkan musik klasik. Namun, tentu ada prioritas dan prinsip yang dikedepankan. Untuk penanaman nilai bagi calon putera atau puterinya, tiap orang tua tentu cenderung mengambil sumber nilai dari sistem nilai yang paling dekat atau yang paling diyakininya, semisalnya nilai-nilai agama.
Tiap orang tua atau calon orang tua pasti punya pilihan atau preferensi tersendiri. Karena, pada hakikatnya, orangtualah yang mewarnai jiwa atau kepribadian anak semenjak dalam kandungan.Â
Seorang anak memang punya potensi kesucian (taqwa) atau kejahatan (fujur) yang semuanya tergantung pada peran orangtua baik untuk mengentaskan (baca: mengangkat ke derajat lebih tinggi) atau justru membuatnya terhempas hingga menjadi sederajat dengan hewan (baca: tak berperikemanusiaan atau tak berkepribadian alias bobrok moral).
Tak heran, dalam Islam, beberapa kewajiban orang tua kepada anak adalah mencarikan calon ibu atau ayah yang baik untuk anaknya dan mengajarinya membaca Al-Qur'an. Khusus yang terakhir itu, terselip doaku agar sang anakku kelak menjadi penghafal Al Qur'an (hafiz atau hafizah).
Namun, jika orang bijak bilang, manusia hidup karena adanya harapan, maka harapan itu terus kupupuk setidaknya dalam doa. Barangkali sama seperti harapannya orang tua Muhammad Al Fatih (sang pembebas Konstantinopel dalam usia 23 tahun) ketika mengasuh sang pejuang dengan cerita-cerita perjuangan para leluhurnya setiap malamnya.
Jadi, singkatnya dan akhir kata, saat itu aku memilih, lebih tepatnya, memprioritaskan Efek Murottal.Â
Lantas bagaimana dengan Efek Mozart?Â
Rasanya boleh juga.Â
Toh, semasa SMA, aku pendengar setia radio Classic FMÂ (sebuah radio di Jabodetabek saat itu yang khusus memutar musik klasik) di malam hari dan kerap tertidur dininabobokan Beethoven dll. Kendati teramat jauh jika digolongkan sebagai classics freak.Â