Bercerai, seperti juga menikah, adalah sebuah pilihan.
Bedanya, jika menikah adalah keperluan alih-alih kewajiban, maka bercerai justru tidak seperti itu. Sedapat mungkin pasangan suami istri (pasutri) yang telah menikah dianjurkan menjaga keutuhan rumah tangganya.
Bahkan, dalam ajaran agama Islam, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa perceraian adalah perbuatan halal yang dibenci Allah.
Di sini tersirat bahwa keputusan bercerai bukanlah semudah memutuskan pacar atau memutuskan hendak pakai baju apa ketika berangkat kerja atau kondangan. Terlebih lagi jika sudah ada tanggungan, yakni anak, yang merupakan buah cinta hasil perkawinan. Tentulah pertimbangannya haruslah lebih matang lagi.
Seperti kebakaran yang tak mungkin mengeluarkan asap jika tak ada api, demikian juga dengan perceraian. Jika kedua orang yang telah terikat janji suci pernikahan sudah sampai pada tahap memutuskan berpisah atau bercerai, tentu layak ditelusuri seberapa tangguh mutu atau kualitas pernikahan yang mereka jalani selama ini. Perlu ditilik sekuat apa landasan awal ketika mereka memutuskan menikah dahulu.
Apa perlunya menikah?
Alasan yang mendasar mengapa manusia perlu menikah adalah faktor kebutuhan psikologis. Sebagai makhluk sosial, manusia itu perlu berteman. Sahabat saja tidak cukup karena sifatnya yang bisa berubah-ubah atau tidak permanen.
Secara psikologis, kita memerlukan teman yang cocok dalam hal berbagi kehidupan.
Suami atau isteri adalah pasangan hidup sekaligus teman hidup. Artinya, mereka sudah berikrar baik dalam susah maupun senang untuk selalu bersama-sama, saling membantu, dan dapat saling menerima apa adanya. Seorang sahabat saya mengatakan,"Menikah itu banyak memberi, bukan banyak menerima."
Menurut Robert L. Crooks & Carla Baur dalam Our Sexuality (1990), ada sejumlah alasan mengapa seseorang memilih menikah, antara lain untuk mendapatkan suatu bentuk perasaan yang sifatnya tetap tentang bagaimana memiliki seseorang dan menjadi milik seseorang serta perasaan dibutuhkan orang lain; adanya keyakinan bahwa kedekatan dan kepercayaan dalam pernikahan dapat menjadikan suatu bentuk hubungan yang lebih kaya dan mendalam; untuk dapat melakukan hubungan seks yang sah dan wajar secara norma sosial, dan adanya harapan bahwa ia akan semakin memahami kebutuhan pasangannya, serta hubungan yang tercipta semakin harmonis seiring semakin dalam pengetahuannya akan pasangan.
Sementara itu Daniel S. Goleman dalam Emotional Intelligence (1995), yang populer karena mengenalkan konsep Emotional Quotient (EQ), mengungkapkan bahwa manusia memiliki dua otak dalam satu tempurung kepalanya. Satu otak berpikir yang lazim dikenal sebagai otak kiri, dan yang satu otak merasa atau otak kanan.
Otak kiri cenderung bersikap objektif, rasional, presisi, numerikal, analitis, linier,konvergen dan logis. Sementara otak kanan cenderung sarat hal-hal eksperimental, divergen, non-analitis, subjektif, non-verbal, intuitif, holistik dan reseptif.
Dua otak ini harus bekerja selaras. Otak kanan yang memuat emosi memberi masukan dan informasi kepada proses berpikir rasional pada otak kiri. Sementara otak kiri memperbaiki dan terkadang menyetop masukan emosi tersebut.
Jika otak kanan terlalu dominan, kita akan sering bertindak gegabah dan mengambil keputusan yang sembrono.Â
Namun jika otak kiri terlalu dominan, kita cenderung hanya jadi pengamat dan terus menganalisis alias omong doang (omdo), atau justru bertindak atau berucap tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain.Â
Yang ideal adalah saat perasaan atau emosi mendukung keputusan yang rasional. Otak kanan akan menunjukkan arah yang tepat. Maka pengelolaan emosi adalah hal penting.
Ada lima wilayah EQ atau kecerdasan emosi yakni mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Kelimanya, jika ditilik, dapat ditemui dan dilatih dalam wadah yang bernama pernikahan.
Alhasil, pernikahan adalah cara mematangkan kecerdasan emosional dan sarana fitrah manusiawi untuk mengisi kekosongan eksistensial manusia.
Bersabar atau berpisah?
Sejatinya menikah itu bukanlah ujung suatu kehidupan, tetapi justru langkah awal mengarungi kehidupan.
Pernikahan bukanlah puncak kehidupan, tapi justru titik awal petualangan hidup.
Ketika menikah, kita dapat saling memberi dan menerima cinta secara eksklusif. Dalam pernikahan yang tangguh dan berkualitas baik, setiap pasangan berpeluang bersama-sama mengembangkan diri menjadi pribadi yang sehat dan matang.
Ada petuah dari Socrates, seorang filsuf terkemuka Yunani, yang legendaris dan populer dikutip orang yakni: "By all means, marry. If you get a good wife, you'll become happy; if you get a bad one, you'll become a philosopher."
Dalam versi terjemahan bebasnya: "Menikahlah! Sekiranya engkau akan mendapati seorang istri yang baik, engkau akan berbahagia. Dan jika engkau mendapat seorang istri yang tidak baik sekalipun, engkau akan menjadi filsuf karenanya."
Lantas bagaimana jika kita tidak dalam kondisi pernikahan yang ideal atau sehat sebagaimana yang diharapkan?
Maka, berlakulah kebenaran diktum dari Socrates sebagaimana tersebut di atas, bahwa niscaya engkau akan menjadi filsuf, yang akan sangat mungkin memaksimalkan daya kebijaksanaan dan kematangan pola pikir kita sebagai manusia.
Terlepas dari apakah Socrates sekadar berkelakar, namun, ada benarnya juga petuah sang guru filsuf besar Yunani lainnya (Plato dan Aristoteles) tersebut.
Baca Juga:Â Jangan Bunuh Anjay!
Di samping itu, Ali bin Abi Thalib, salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang dijuluki "pintu kota ilmu" pernah berkata bahwa, "Sikap menerima dan mau menanggung adalah kuburan bagi aib dan kekurangan."
Demikian juga dalam pernikahan dan kehidupan berumah tangga.
Konon di zaman Tiongkok kuno, seorang kaisar Tiongkok kuno bertanya kepada seorang kepala suku dari sebuah suku yang selama berabad-abad dikenal memiliki tradisi pernikahan yang berbahagia, "Apakah kunci kebahagiaan itu?"
Kepala suku itu menjawab dengan menuliskan sebuah kata "Sabar" sebanyak seratus kali.
Namun, jikalau kita tak sanggup memikul beban menjadi filsuf, juga tak mampu bersabar bertahan dalam sebuah pernikahan, dan sudah merasa cukup untuk menerima dan menanggung beban pernikahan dan rumah tangga atau bahkan sudah muak dengan pernikahan yang dirasa toksik atau beracun, maka pintu perceraian tetap akan terbuka. Karena, lagi-lagi, itu adalah bagian dari serangkaian pilihan hidup kita masing-masing.
Bagaimanapun, perceraian, sebagaimana juga pernikahan, adalah bagian dari episode jodoh, sesakit apa pun itu, Â yang merupakan misteri Ilahi seperti halnya rejeki dan kematian. Ia akan datang juga jika sudah takdirnya tiba, setelah tentunya ikhtiar keras telah kita lakukan sekuat-kuatnya.
Do your best, God will do the rest.
Yang penting lakukanlah ikhtiar sebaik mungkin, kencangkan doa sekuat-kuatnya. Selebihnya, bertawakal saja, dan serahkan segalanya kepada Tuhan, karena tak selalu apa yang buruk di mata manusia juga buruk di mata Tuhan. Karena sejatinya Tuhan memberi apa yang kita perlukan, tidak selalu apa yang kita inginkan.
Jakarta, 4 September 2020
Baca Juga: Perawan, Pilihan atau Kemutlakan? dan Melarang Anjay Sama Saja Menembak Nyamuk dengan Meriam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H