Ada petuah dari Socrates, seorang filsuf terkemuka Yunani, yang legendaris dan populer dikutip orang yakni: "By all means, marry. If you get a good wife, you'll become happy; if you get a bad one, you'll become a philosopher."
Dalam versi terjemahan bebasnya: "Menikahlah! Sekiranya engkau akan mendapati seorang istri yang baik, engkau akan berbahagia. Dan jika engkau mendapat seorang istri yang tidak baik sekalipun, engkau akan menjadi filsuf karenanya."
Lantas bagaimana jika kita tidak dalam kondisi pernikahan yang ideal atau sehat sebagaimana yang diharapkan?
Maka, berlakulah kebenaran diktum dari Socrates sebagaimana tersebut di atas, bahwa niscaya engkau akan menjadi filsuf, yang akan sangat mungkin memaksimalkan daya kebijaksanaan dan kematangan pola pikir kita sebagai manusia.
Terlepas dari apakah Socrates sekadar berkelakar, namun, ada benarnya juga petuah sang guru filsuf besar Yunani lainnya (Plato dan Aristoteles) tersebut.
Baca Juga:Â Jangan Bunuh Anjay!
Di samping itu, Ali bin Abi Thalib, salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang dijuluki "pintu kota ilmu" pernah berkata bahwa, "Sikap menerima dan mau menanggung adalah kuburan bagi aib dan kekurangan."
Demikian juga dalam pernikahan dan kehidupan berumah tangga.
Konon di zaman Tiongkok kuno, seorang kaisar Tiongkok kuno bertanya kepada seorang kepala suku dari sebuah suku yang selama berabad-abad dikenal memiliki tradisi pernikahan yang berbahagia, "Apakah kunci kebahagiaan itu?"
Kepala suku itu menjawab dengan menuliskan sebuah kata "Sabar" sebanyak seratus kali.
Namun, jikalau kita tak sanggup memikul beban menjadi filsuf, juga tak mampu bersabar bertahan dalam sebuah pernikahan, dan sudah merasa cukup untuk menerima dan menanggung beban pernikahan dan rumah tangga atau bahkan sudah muak dengan pernikahan yang dirasa toksik atau beracun, maka pintu perceraian tetap akan terbuka. Karena, lagi-lagi, itu adalah bagian dari serangkaian pilihan hidup kita masing-masing.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!