Otak kiri cenderung bersikap objektif, rasional, presisi, numerikal, analitis, linier,konvergen dan logis. Sementara otak kanan cenderung sarat hal-hal eksperimental, divergen, non-analitis, subjektif, non-verbal, intuitif, holistik dan reseptif.
Dua otak ini harus bekerja selaras. Otak kanan yang memuat emosi memberi masukan dan informasi kepada proses berpikir rasional pada otak kiri. Sementara otak kiri memperbaiki dan terkadang menyetop masukan emosi tersebut.
Jika otak kanan terlalu dominan, kita akan sering bertindak gegabah dan mengambil keputusan yang sembrono.Â
Namun jika otak kiri terlalu dominan, kita cenderung hanya jadi pengamat dan terus menganalisis alias omong doang (omdo), atau justru bertindak atau berucap tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain.Â
Yang ideal adalah saat perasaan atau emosi mendukung keputusan yang rasional. Otak kanan akan menunjukkan arah yang tepat. Maka pengelolaan emosi adalah hal penting.
Ada lima wilayah EQ atau kecerdasan emosi yakni mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Kelimanya, jika ditilik, dapat ditemui dan dilatih dalam wadah yang bernama pernikahan.
Alhasil, pernikahan adalah cara mematangkan kecerdasan emosional dan sarana fitrah manusiawi untuk mengisi kekosongan eksistensial manusia.
Bersabar atau berpisah?
Sejatinya menikah itu bukanlah ujung suatu kehidupan, tetapi justru langkah awal mengarungi kehidupan.
Pernikahan bukanlah puncak kehidupan, tapi justru titik awal petualangan hidup.
Ketika menikah, kita dapat saling memberi dan menerima cinta secara eksklusif. Dalam pernikahan yang tangguh dan berkualitas baik, setiap pasangan berpeluang bersama-sama mengembangkan diri menjadi pribadi yang sehat dan matang.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!