Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perceraian adalah Episode Jodoh, Sesakit Apapun Itu

4 September 2020   15:59 Diperbarui: 6 September 2020   11:59 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Otak kiri cenderung bersikap objektif, rasional, presisi, numerikal, analitis, linier,konvergen dan logis. Sementara otak kanan cenderung sarat hal-hal eksperimental, divergen, non-analitis, subjektif, non-verbal, intuitif, holistik dan reseptif.

Dua otak ini harus bekerja selaras. Otak kanan yang memuat emosi memberi masukan dan informasi kepada proses berpikir rasional pada otak kiri. Sementara otak kiri memperbaiki dan terkadang menyetop masukan emosi tersebut.

Jika otak kanan terlalu dominan, kita akan sering bertindak gegabah dan mengambil keputusan yang sembrono. 

Namun jika otak kiri terlalu dominan, kita cenderung hanya jadi pengamat dan terus menganalisis alias omong doang (omdo), atau justru bertindak atau berucap tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. 

Yang ideal adalah saat perasaan atau emosi mendukung keputusan yang rasional. Otak kanan akan menunjukkan arah yang tepat. Maka pengelolaan emosi adalah hal penting.

Ada lima wilayah EQ atau kecerdasan emosi yakni mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Kelimanya, jika ditilik, dapat ditemui dan dilatih dalam wadah yang bernama pernikahan.

Alhasil, pernikahan adalah cara mematangkan kecerdasan emosional dan sarana fitrah manusiawi untuk mengisi kekosongan eksistensial manusia.

Bersabar atau berpisah?

Sejatinya menikah itu bukanlah ujung suatu kehidupan, tetapi justru langkah awal mengarungi kehidupan.

Pernikahan bukanlah puncak kehidupan, tapi justru titik awal petualangan hidup.

Ketika menikah, kita dapat saling memberi dan menerima cinta secara eksklusif. Dalam pernikahan yang tangguh dan berkualitas baik, setiap pasangan berpeluang bersama-sama mengembangkan diri menjadi pribadi yang sehat dan matang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun