Sang gadis pun maklum karena si pegawai kelurahan bukanlah jago ketik seperti calon suaminya yang, karena tekanan tenggat kerja, bisa terbirit-birit menerjemahkan 10 halaman dalam sejam. Ia pun menunggu dengan, terpaksa, sabar.
Setelah dua jam lebih sedikit, surat pengantar nikah pun beres.Â
Tanpa periksa lagi, sang gadis segera membawa surat itu dan pulang menuju rumahnya yang hanya berjarak puluhan meter dari kantor kelurahan yang setia ditungguinya selama dua jam tadi.Â
Ibunya yang menyambut di rumah segera meneliti, "Lho kok tulisannya begini?"
Sang gadis penasaran, dan melihat bagian belakang surat yang memuat keterangan: XXXXXX..DAN MENIKAHI SEORANG PEREMPUAN BERNAMA NURSALAM AR (aslinya tulisan itu dengan tulisan tangan berukir khas lulusan SR tahun 50-an).
Sang gadis mangkel. Ibunya terbahak lepas, "Jeruk kok makan jeruk?"
Akhir cerita, surat itu berhasil diperbaiki, diiringi riuh tawa sekantor kelurahan, dengan tambahan waktu 30 menit saja.
Sang gadis tidak jadi "makan jeruk". Karena sang "perempuan" dalam keterangan surat itu sudah "kembali" ke wujud aslinya. Lelaki tulen. Secara de jure dan de facto.
Dalam catatan jadwal pernikahan di KUA, tiga hari kemudian, tertera sang gadis bernama Yuni Meganingrum dan sang pemuda bernama Nursalam AR.
Dan beberapa bulan setelahnya, tanggal pernikahan mereka tercetak indah pada buku nikah masing-masing: 23 Desember 2007.
Jakarta, Agustus 2020