Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menikah itu Bertukar Budaya, Bukan Hanya Cinta

26 Agustus 2020   18:07 Diperbarui: 28 Agustus 2020   00:02 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keragaman budaya Indonesia/Sumber: yuksinau.id

Ini nostalgia obrolan santai pasutri jelang putera pertama mereka lahir.

"Wah, kalo si dedek lahir di pesisir Kalianda, pasti deh Ki Panggar muncul!" celetuk istriku, setengah bercanda.

Kalianda adalah nama sebuah kabupaten di wilayah Lampung Selatan, yang merupakan kota terdekat setelah Pelabuhan Bakauheni di ujung paling timur pulau Sumatera. Ibu mertuaku berasal dari kota kecil itu sementara ayah mertua dari Palembang, Sumatera Selatan.

"Ki Panggar?" tanyaku serius, benar-benar tidak paham.

Sebagai anak Betawi asli, aku tidak cukup nyambung dengan celetukan istriku itu.

Maka malam itu mengalirlah panjang lebar cerita tentang Ki Panggar. Sebaliknya aku pun menceritakan kisah dari tanah kelahiranku mengenai Ki Goyot, sosok yang serupa dengan Ki Panggar. Malam itu, di atas ranjang, terjadilah pertukaran budaya, selain pertukaran cinta dan yang lainnya.

Ketika kita menikah, bukan hanya suami atau istri serta keluarga besarnya yang harus dikawini atau dinikahi. Tetapi juga budaya daerah kelahirannya. Barangkali itulah hikmah mengapa dalam perintah menikah dalam Al Qur'an disinggung soal "kenal mengenal antara suku bangsa".

Ki Panggar

Di pesisir Kalianda, Lampung Selatan, kabarnya ada mitos tentang Ki Panggar.  Sosok mitologis ini akan muncul jika ada anak keturunannya yang lahir ke muka bumi. Barangkali dalam rangka menyambutnya.

Ki Panggar adalah macan kumbang berwarna hitam yang konon disebut-sebut sebagai salah satu penjaga Radin Inten.

Radin Inten II, yang juga pahlawan nasional Indonesia, adalah pangeran dari Keratuan Darah Putih, yang berpusat di Kalianda (ibu kota Lampung Selatan), yang gigih melawan penjajahan Belanda.

Nah, biasanya, di pagi hari saat sang anak keturunannya lahir, maka Ki Panggar akan tampak sekelebat bertengger di atap rumah atau dahan pohon di dekat tempat sang keturunannya dilahirkan. Ki Panggar juga diyakini menjadi pelindung anak keturunannya jika terancam mara bahaya.

Macan Ki Goyot

Sementara Ki Goyot adalah sosok macan putih gaib. Konon penampakannya lebih seperti hologram. Persisnya, seperti penampakan tokoh Al (Albert Calavicci) dalam serial TV populer Quantum Leap pada era 90-an.

Sebenarnya macan putih itu tidak bernama. Ki Goyot adalah nama pemilik sang macan penjaga. Untuk memudahkan, orang-orang setempat memanggilnya dengan nama sang pemilik. Sebagai macan penjaga, Ki Goyot bertugas menjaga tanah dan kebun sang pemilik dari gangguan orang orang jahat. Maklum sang pemiliknya adalah jawara dan tuan tanah di kampung Pengadegan di bilangan Jakarta Selatan.

Trah Ki Goyot juga merupakan keluarga besar utama dan terbanyak jumlah keturunannya di tempat kelahiranku. Aku sendiri termasuk cicit dari putri bungsu Ki Goyot bernama Putu. Kami memanggilnya Nek Putu. Semasa hidupnya Nek Putu adalah tabib dan paraji, dukun beranak.

Waktu kecil, aku pernah mendengar cerita dari ayahku (yang sejak kecil diasuh Nek Putu karena kedua orangtuanya bercerai sejak ayah berusia 1 tahun) tentang seorang pencuri yang berenang-renang berputar-putar berjam-jam di Kali Ciliwung, yang berbatasan dengan kebun buah Ki Goyot, hingga lemas karena ketakutan melihat sosok sang macan putih.

Demikian juga tentang kisah penerabas kebun yang terkencing-kencing digertak sang penjaga karena kelancangannya tersebut.

Namun tidak pernah ada cerita sang macan gaib itu memangsa orang. Ia hanya menggertak dan mengancam dengan wujudnya yang konon bisa membesar setinggi pohon kelapa.

Kini macan putih itu tak tentu keberadaannya.

Ayahku pernah ditawari mengurus sang macan putih. Namun ayah menolak. "Musyrik," kata beliau. "Kita cukup bergantung pada Allah saja," lanjutnya.

Memang, sebagai syarat mengurus sang macan, si pemilik harus menyediakan ancak, semacam sesajen dalam bahasa Betawi, pada  setiap malam tertentu bagi sang macan putih.

Namun, konon sang macan putih masih setia pada nalurinya sebagai macan penjaga.

Pernah sewaktu aku kelas tiga SD, seorang tetangga yang mengontrak rumah di tempatku menggigil ketakutan karena katanya semalaman ia mendengar auman macan di belakang rumahnya dan suara garukan kuku macan. Paginya didapati di pintu belakang rumahnya terdapat bekas cakaran kuku memanjang dan dalam. Persis seperti cakaran kuku macan.

Ayahku bilang itu perbuatan macan putih, dan si tetangga itu pasti punya niat jahat. Belakangan, setelah si pengontrak pindah rumah beberapa hari kemudian, diketahui ia sering mencuri barang-barang pengontrak rumah yang lain.

Menikah itu memperkaya

Demikianlah. Menikah memang membuat orang kaya. Setidaknya kaya wawasan dan kaya khazanah kisah.

Dari sang istri, aku jadi tahu kenapa orang-orang Kalianda, sewaktu aku bersilaturahmi Lebaran ke sana, mengharamkan makan daging kerbau albino atau kebo bule.

Konon Radin Inten yang merupakan leluhur orang-orang Kalianda pernah diselamatkan oleh seekor kebo bule ketika beliau tertembak oleh serdadu Belanda.

Waktu beliau tidak mampu berjalan lagi, seekor kebo bule mendekatinya dan menyilakan sang pahlawan naik ke punggungnya dan membawanya ke persembunyian yang aman. Sejak saat itu Radin Inten bersumpah bahwa ia dan anak keturunannya tidak akan memakan daging kebo bule seumur hidup.

Entah karena faktor sumpah keramat itu atau faktor sugesti, ibu mertuaku, yang asli Lampung, kabarnya menderita gatal-gatal hebat setelah menyantap sajian daging, yang disebut-sebut, kebo bule  yang diberikan tetangga. Si tetangga alpa menyebutkan jenis daging kerbau yang dimasaknya.

Aku sendiri menghormati kepercayaan itu dalam batas-batas logika dan aqidah. Sehingga ketika istriku menderita gatal gatal hebat selepas kondangan di awal pernikahan kami, aku tak lantas menduga ada hidangan kebo bule dalam pesta tersebut.

Toh, akhirnya terbukti istriku menderita alergi karena menyantap sup asparagus kepiting. Ia memang alergi kepiting sejak kecil.

Back to laptop, Radin Inten sendiri wafat karena pengkhianatan orang sebangsanya. Berbekal informasi sang pengkhianat, atas perintah Belanda, dalam sebuah pesta rakyat disuguhkan hidangan mengandung daging kebo bule kepada Radin Inten.

Alhasil, sang pahlawan pun tak berdaya dan mudah ditaklukkan. Barangkali serupa dengan modus penaklukan terhadap Pitung, sang pendekar Betawi asal Marunda, yang gugur ditembus pelor emas Belanda berdasarkan informasi dari teman dekat sang pejuang.

Belanda, dalam catatan para sosiolog dan sejarawan, memang sangat memperhatikan faktor budaya dalam memahami dan menaklukkan tiap perlawanan di bumi Nusantara.

Yang fenomenal antara lain keberhasilan penaklukan perlawanan bersenjata di Aceh berkat studi gigih Dr. Snouck Hourgronje yang demi mempelajari Islam, sebagai elemen motivator utama dalam perjuangan rakyat Aceh, nekat menyelundup masuk ke Mekah dan berguru kepada masyaikh (para syeikh) di Masjidil Haram dan Mekah.

Alhasil, membangun keluarga tidaklah berlangsung dalam ruang hampa udara. Kita dan pasangan kita tidaklah muncul begitu saja ke dunia ini. Tetapi kita adalah anak ibu bapak kita dan putera-puteri budaya dan lingkungan asal kita.

Agama adalah panduan dan budaya merupakan pewarna keindahan berumahtangga. Pengetahuan dan pemahaman budaya tak pelak merupakan hal penting.

Konon, salah satu sebab awal Pangeran Trunojoyo atau Trunajaya dari Madura memberontak melawan Belanda adalah persoalan kesalahpahaman budaya.

Apa pasal? Rupanya ketika delegasi misi dagang Belanda disambut pihak kerajaan Madura, salah seorang kepala delegasi mengecup tangan permaisuri Trunojoyo.

Dalam budaya Barat, hal tersebut adalah sebuah penghormatan tulus. Namun, sebaliknya dalam perspektif ketimuran dan Jawa, terlebih dalam budaya masyarakat Madura yang berpegang teguh pada ajaran Islam, itu adalah sebuah kelancangan, bahkan pelecehan.

Alih-alih terjadi transaksi, yang terjadi kemudian adalah pertumpahan darah hebat antara kedua belah pihak.

Nah, tentu kita tak ingin keluarga kita kisruh atau pecah hanya karena persoalan budaya yang sebenarnya merupakan bumbu penyedap kehidupan berumahtangga. Sejatinya kadar bumbu itu harus pas, tidak boleh berlebih atau berkurang.

Jakarta, 2020

Baca Juga: Buat Apa Menikah dan Tiga Pelajaran Saat Kondangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun