"Indonesia Terserah" menjadi label atas perilaku ketidaktaatan rakyat terhadap aturan pemerintah. Rakyat yang sumpek dengan bekapan derita wabah korona dan kesulitan ekonomi sebagai dampak pandemi COVID-19 (baca: kenaikan harga sembako dan PHK massal) bergerak melawan. Ketika diminta untuk diam di rumah saja, kecuali untuk keperluan urgen, mereka justru keluyuran keluar atau bahkan nongkrong-nongkrong di jalan atau area publik.
Penolakan para pedagang pasar di berbagai daerah terhadap PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan Rapid Test atau Swab Test yang dilakukan otoritas pemerintah sejatinya dapat dibaca dalam kerangka pembangkangan sipil tersebut.
Termasuk juga kasus-kasus individu yang viral di media sosial, seperti ketika seorang pria di Bogor, Jawa Barat, berdebat keras dengan aparat pemerintah ketika ia melanggar aturan pembatasan jumlah penumpang dalam kendaraan pribadi. Atau ketika seorang pemuka agama di Surabaya yang hingga baku hantam dengan petugas pengawas PSBB ketika ditindak karena pelanggaran yang sama.
Demikian juga adanya pelbagai kasus pengambilan paksa para jenazah positif COVID-19 oleh anggota keluarga mereka untuk dimakamkan tanpa protokol COVID-19. Kebanyakan kasus pengambilan paksa tersebut terjadi di Sulawesi. Konon hal itu dipicu oleh viralnya video pemerasan seorang dokter di salah satu rumah sakit di Sulawesi Utara terhadap keluarga pasien COVID-19. Jika keluarga tidak membayar sejumlah uang kepada si oknum dokter, maka pasien tersebut dinyatakan positif, dan, jika wafat, akan dimakamkan dengan protokol COVID-19.
Video yang belakangan disangkal kebenarannya oleh pihak RS tersebut kadung menimbulkan gelombang ketidakpercayaan terhadap integritas dan komitmen para tenaga medis dan tenaga kesehatan yang berjuang menghadapi pandemi COVID-19. Dalam konteks itulah, dapat dipahami banyaknya kasus ujaran kebencian (hate speech) di medsos terhadap para nakes tersebut. Sebagian kasus tersebut sudah ditangani pihak kepolisian.
Namun, bagi sebagian kalangan masyarakat, tingkat kepercayaan mereka sudah terlanjur anjlok. Ditambah lagi dengan bombardir isu konspirasi virus korona di medsos yang dihembuskan segelintir selebritas dan pesohor seperti Young Lex dan Jerinx Superman Is Dead yang banyak diamini kalangan akar rumput (grass root).
Lebih jauh lagi, kasus pengambilan paksa itu merupakan suatu rangkaian dengan kasus penolakan jenazah COVID-19 dan kasus pengusiran nakes dari asrama atau rumah indekosnya. Alhasil, deretan kasus tersebut tidak bisa dibaca terpisah dan ditafsirkan secara parsial.
Di titik inilah, perjuangan pemerintah, di level daerah maupun nasional, menjadi kian berat. Beban Gubernur Anies, Gubernur Ridwan Kamil, maupun Presiden Jokowi adalah sama beratnya.
Di titik ini juga, kekhawatiran bakal diterapkannya Darurat Sipil oleh pemerintah pusat kembali mencuat. Wacana Darurat Sipil, yang sudah muncul sebelum pemberlakuan PSBB, yang dikhawatirkan kalangan pegiat HAM dan hak sipil, memang seperti pisau bermata dua.
Di satu sisi, pemerintah pusat dimungkinkan secara efektif bergerak melaksanakan tindakan-tindakan eksekutif guna memuluskan agenda pencegahan dan pemberantasan wabah virus Korona.
Namun, di sisi lain, kewenangan yang teramat besar berdasarkan konstitusi yang ada dalam perangkat hukum Darurat Sipil dapat mendorong para penguasa untuk tergoda menangkapi para lawan politik dan para pengkritik rezim dengan justifikasi kondisi Darurat Sipil.