Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Benarkah Hasil Tidak Mengkhianati Usaha?

18 Mei 2020   04:22 Diperbarui: 18 Mei 2020   04:34 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jargon "hasil tidak mengkhianati usaha"/Sumber: pt.slideshare.net

Jargon "hasil tidak mengkhianati usaha", dalam versi lain "hasil tidak mengkhianati proses", sepertinya mulai populer sejak Asian Games 2018 ketika Indonesia didaulat sebagai tuan rumah pesta olahraga tahunan tingkat Asia tersebut. Saat itu Jakarta dan Palembang ditunjuk sebagai dua kota penyelenggara pelbagai pertandingan di ajang prestisius tersebut.

Dalam berbagai tayangan pertandingan, para komentator olahraga menyelipkan jargon tersebut dalam banyak kesempatan. Terutama ketika pebulutangkis tampan andalan Indonesia, Jonatan Christie alias Jojo, yang banyak digemari para wanita, unggul dalam beberapa laga dan meraih medali emas. Berkali-kali saya dengar jargon itu terhambur dari lisan para komentator, termasuk juga tertulis di media cetak dan dikutip di media sosial.

Setelah terbit dari bidang olahraga, jargon itu pun mulai "menjajah" sektor lainnya, seperti ekonomi, politik, seni, dan budaya. Demikianlah sependek pengamatan saya.

Alhasil, jika menurut logika jargon tersebut, apa pun usaha atau kerja keras Anda, itu akan berbanding lurus dengan hasil yang akan Anda raih. Jika Anda berusaha keras maka Anda akan mencapai kemenangan atau keunggulan. Sebaliknya, jika Anda kalah atau tertinggal, itu pertanda usaha Anda kurang keras atau kurang optimal. Pokoknya hasil tidak pernah mengkhianati usaha atau tidak bertentangan dengan tingkat kerja keras.

Benarkah demikian? Apakah relasinya selinear itu?

Sesungguhnya tidak.

Bukankah dalam kamus bahasa masih ada kata "kegagalan"? Terkecuali jika Anda seorang Napoleon Bonaparte, seorang kaisar dan jago perang legendaris dari Prancis, yang mengklaim bahwa ia sudah menghapus kata itu dari kamus pribadinya.

Usaha keras tidak selalu berujung pada keberhasilan atau kemenangan, sekeras apa pun ikhtiar Anda. Ada ruang atau opsi lain yang namanya "kegagalan" atau "kekalahan". Hubungannya tidaklah berbanding lurus.

Jika Anda berusaha keras tidak lantas otomatis, atau taken for granted, Anda dijamin menang atau unggul. Demikian juga jika Anda kalah atau gagal, tidaklah dapat ditafsirkan bahwa upaya atau ikhtiar Anda kurang keras atau kurang optimal.

Sejarah mencatat Thomas Alva Edison berhasil menemukan bohlam lampu setelah melalui 1000 kali eksperimen dengan berbagai hasil kegagalan. Padahal kurang keras bagaimana sang ilmuwan jenius itu berikhtiar dan berkomitmen dalam setiap eksperimennya hingga konon sering lupa makan dan tidak tidur berhari-hari?

Demikian juga yang dicatat sejarah perihal beragam kisah penemuan atau kemenangan serta kisah-kisah perjuangan lainnya.

Dalam konteks politik, kurang keras bagaimana usaha seorang Prabowo Soebianto dalam ikhtiarnya untuk menjadi presiden Republik Indonesia?

Ia yang mantan militer telah berikhtiar sejak  2004 ketika mengikuti konvensi Partai Golkar yang berakhir pada kegagalan pertamanya. Kegagalan yang berulang pada pemilu presiden 2014 dan 2019? Mengapa hasil pemilu "mengkhianati" usaha keras sang mantan jenderal itu?

Itulah, yang saya sebutkan sebelumnya, ruang alternatif lain bernama "kegagalan" yang dengan tegas membantah validitas logika jargon salah kaprah tersebut.

Jika benar hasil itu tidak mengkhianati usaha, maka seorang Abraham Lincoln, salah seorang presiden terkemuka Amerika Serikat, akan langsung berhasil menjadi seorang senator pada beberapa kesempatan awal, tidak perlu sampai harus terpuruk berkali-kali terlebih dahulu.

Demikian juga Abe, panggilan akrab sang pahlawan penghapus perbudakan tersebut, akan langsung berhasil meraih kursi nomor wahid di tampuk kepemimpinan negeri Paman Sam tersebut, dan tidak perlu keok dahulu dalam pemilu presiden, mengingat ikhtiar luar biasanya sejak remaja dan sejak masih sebagai anggota senator.

Kesesatan berpikir

Berdasarkan hukum logika, jargon populer "hasil tidak mengkhianati usaha" merupakan contoh yang sempurna atas sebuah kesesatan berpikir. Inilah namanya "kesesatan relevansi".

Dalam istilah filsafat, inilah kesesatan relevansi yang tergolong "kesesatan non causa pro causa". Artinya, kesesatan ini dilakukan apabila seseorang menganggap sesuatu sebagai penyebab, padahal bukan penyebab atau bukan penyebab tunggal yang sesungguhnya.

Berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan, orang cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua atau peristiwa kedua merupakan akibat dari peristiwa pertama, padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat atau kausalitas. Kesesatan ini juga dikenal dengan nama "kesesatan post hoc ergo propter hoc" (sesudahnya maka karenanya).

Alhasil, usaha bukanlah penyebab atau satu-satunya penyebab keberhasilan atau kegagalan. Tidak ada faktor tunggal dalam relasi tersebut, banyak faktor lain yang turut bermain, antara lain faktor intervensi manusia atau intervensi Tuhan yang karib kita kenal sebagai "takdir".

Nah, ketika seorang pejabat negara selevel Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nachrawi yang menggembar-gemborkan jargon populer namun salah kaprah tersebut, entah dengan motivasi mengangkat moril para atlet atau untuk tujuan yang lain, jargon itu pun memasuki jenis kesesatan kedua, yang sering disebut dengan istilah "argumentum ad populum".

Inilah bentuk sesat berpikir berupa penalaran yang diajukan untuk meyakinkan para pendengar dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat atau orang banyak.

Tidaklah penting pembuktian logis dalam hal ini, yang dipentingkan adalah menggugah perasaan atau simpati publik; membangkitkan semangat atau membakar emosi massa. Inilah tipikal penalaran khas politisi yang banyak dijumpai dalam pernyataan kalangan elite politik atau dalam kampanye politik, termasuk ajang pilkada dan pilpres.

Jadi, Anda masih percaya bahwa hasil tidak mengkhianati usaha? Jika ya, itu pertanda Anda masih sesat berpikir atau tidak percaya takdir Tuhan.

Jakarta, 18 Mei 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun