Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Terbitnya UU Minerba, Habisnya Reformasi Kita

14 Mei 2020   11:30 Diperbarui: 14 Mei 2020   11:33 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sidang DPR RI/Sumber: Kompas.com

Dua puluh dua tahun lalu, Mei 1998, saya masih mahasiswa tingkat dua di salah satu universitas negeri di Jakarta. Sebagai bagian dari pergerakan mahasiswa saat itu, saya terlibat dalam banyak aksi mahasiswa menuntut Reformasi, termasuk aksi pendudukan Gedung DPR/MPR-RI yang berujung pada turunnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Saya masih mengingat betul saat terjadi peristiwa penembakan yang menewaskan tiga mahasiswa Universitas Trisakti, yang kemudian ditahbiskan sebagai Pahlawan Reformasi, saya tengah mengikuti perkuliahan di Kampus Salemba, Jakarta.

Keesokan harinya, ketika berbagai kampus di Jabodetabek beraksi di kampus masing-masing mengecam tragedi tersebut, saya dan teman-teman terjebak dalam kerumunan massa yang menjarah pusat-pusat perbelanjaan di Jabodetabek, termasuk di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, di dekat Kampus Salemba.

Selepas mengikuti aksi kepedulian di Kampus Salemba sejak pagi hingga siang hari, kami hendak menuju Stasiun Cikini untuk pulang ke rumah masing-masing. 

Namun, jalanan terblokir oleh kerumunan massa yang berbondong-bondong menjarah emas di pertokoan emas di Cikini, termasuk juga pusat perbelanjaan yang berseberangan dengan Stasiun Kereta Api Cikini. Api mengepul di mana-mana.

Namun ada yang aneh dengan pola pergerakan massa saat itu.

Sebelum terjadi penjarahan, ada sekelompok pemotor trail, tegap-tegap posturnya, berkaus preman dan berambut cepak, sebagian berhelm gelap, yang memblokir jalan raya depan Stasiun Cikini dengan formasi tertentu. Mereka melemparkan bom-bom molotov dan menghasut warga di jalan untuk menjarah pertokoan dan perkantoran di sekitar jalan. Dan kemudian kelompok pemotor itu menghilang dengan cepat saat massa mulai melakukan penjarahan.

Melihat kami, para mahasiswa berjaket kuning, terbengong-bengong di antara kerumunan, sebagian penjarah berteriak-teriak gembira, "Terima kasih, Mahasiswa! Terima kasih ya!"

Entah itu sindiran atau bentuk ekspresi kegembiraan rakyat yang kala itu lelah dirundung krisis ekonomi berkepanjangan setahunan, yang jelas kami tetap terpaku. Shock atau terguncang, tepatnya.

Pada waktu itu, setelah bersusah payah menerobos kerumunan, kami berhasil sampai di Stasiun Cikini. Saat itu hanya Kereta Rel Listrik (KRL) satu-satunya moda transportasi umum yang masih beroperasi. 

Jakarta terbakar, api merah di mana-mana. Seorang teman saya terpaksa menginap di rumah saya di Kalibata, Jaksel, karena terkendala untuk pulang ke rumahnya di sekitar Lebak Bulus.

Sebagai saksi mata dan bagian dari pelaku Reformasi '98, sampai sekarang saya tetap yakin ada kekuatan lain yang turut menunggangi aksi penjarahan massal saat itu.

Dan, sebagai sebuah revolusi, tak terelakkan ada banyak penumpang gelap (free rider) dalam gerbong Gerakan Reformasi '98.

Para free rider itulah yang belakangan menjegal cita-cita Reformasi yakni memberantas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), yang sudah digaungkan Amien Rais sejak artikelnya yang membongkar kolusi swasta dan rezim Orde Baru (Orba) di Tambang Emas Busang, Kalimantan, dimuat di Harian Republika pada 1997.

Baca Juga: Anies Membongkar Gunung Es Kasus Corona, Salahkah?

UU Minerba, UU Colongan?

Pelaku penembakan ketiga Mahasiswa Trisakti, yang kemudian memicu kemarahan publik hingga menggulingkan rezim Orba, sampai sekarang belum terungkap. Ribuan Aksi Kamisan baik di Pusat (di depan Istana Negara) maupun di daerah-daerah masih berlangsung untuk menuntut pengungkapan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), antara lain kasus pembunuhan Munir, kasus penghilangan para aktivis, dan termasuk terbunuhnya Para Pahlawan Reformasi tersebut.

Namun, satu per satu amanat Reformasi runtuh.  Mulai dari pemberangusan kebebasan bersuara, seperti kriminalisasi para aktivis seperti Ravio Patra dan pemandulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Revisi UU KPK.

Termasuk juga disahkannya Revisi UU Minerba baru-baru ini. Pengesahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) atas Revisi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) pada 12 Mei 2020 tampak sebagai "upaya colongan" di saat bangsa ini sibuk bertarung melawan pandemi COVID-19. Pengesahan itu juga melanggar komitmen DPR sendiri yang awalnya berjanji untuk memprioritaskan legislasi terkait penanggulangan COVID-19.

Dalam hal ini, tampak jelas ada penumpang gelap (free rider) dalam upaya percepatan pengesahan Revisi UU Minerba tersebut. Sejarah berulang. Pengulangan sejarah yang lagi-lagi mematahkan cita-cita Reformasi '98.

Seturut produk Omnibus Law lainnya seperti RUU Cipta Lapangan Kerja yang juga dipersoalkan publik dan kalangan aktivis, UU Minerba dinilai oleh banyak pihak hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Antara lain perihal penjaminan perpanjangan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa pelelangan (tender/bidding) yang terdapat dalam Pasal 169A.

Aturan ini berpotensi menimbulkan kolusi antara pemerintah dan perusahaan tambang raksasa. Karena bermodal aturan tersebut, perusahaan-perusahaan tambang lain sebagai kompetitor akan tersingkir, juga akan meminimalisasi wilayah dan pelaku lelang Kontrak Karya atau PKP2B.

Terendusnya potensi kolusi tersebut secara terang benderang mendurhakai Amanat Reformasi '98 yang menegaskan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang dianggap sebagai trisula penyebab kemunduran bangsa ini.

Secara konstitusional, berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 (yang tetap dipertahankan berdasarkan hasil Amendemen ke-4) yang menyatakan bahwa "cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" (Pasal 33 Ayat 2) dan "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" (Pasal 33 Ayat 3), UU Minerba yang baru jelas jauh dari amanat berdikari dari para pendiri bangsa (founding fathers) yang menjadi esensi "ayat keramat" tersebut, yang konon merupakan buah pemikiran Bung Hatta, sang dwitunggal proklamator kemerdekaan Indonesia.

Secara ideologis, sebagaimana amanat Ayat 33 tersebut, ekonomi tidak dapat ditempatkan sebagai ideologi, apalagi pada hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Penguasaan negara terhadap bumi, air, dan segala kekayaan di dalamnya dalam konteks ini haruslah bertujuan demi terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, rasionalitas ideologi tidak boleh terpasung pada logika ekonomi semata, karena perwujudan gambaran kolektif ideal kita sebagai sebuah bangsa jauh lebih penting daripada kalkulasi ekonomi.

Sementara itu, sangatlah wajar jika ekonomi diposisikan sebagai ideologi sementara melalaikan satu hal penting yakni logika pasar dan persainga bebas merupakan rasionalitas ideologi kapitalisme liberal. 

Anggapan yang memposisikan ideologisasi ekonomi sebagai kewajaran akan mempersempit ragam nasionalisme alternatif kita, bahkan meruntuhkan kritisisme dan objektivitas metodologis menyeluruh, karena telah menganggapnya sebagai semacam "metabahasa" (Parekh: 2003). Inilah yang disebut Parekh sebagai false consciousness atau kesadaran palsu.

Suatu kesadaran palsu yang juga menjangkiti para politisi negeri ini bahwa seakan mereka, yang notabene jabatan mereka saat ini adalah hasil perjuangan Reformasi '98, telah bekerja, bekerja, dan bekerja untuk rakyat sesuai Amanat Reformasi '98, namun justru menebar harapan palsu akan kesejahteraan rakyat.

Alih-alih menerbitkan harapan perbaikan negeri, para politisi itu sejatinya menghabisi Amanat Reformasi satu demi satu secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Jakarta, 14 Mei 2020

Referensi: [1] [2]

Baca Juga: Pekerja U-45 Tumbal Perdamaian dengan Corona?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun