Aturan ini berpotensi menimbulkan kolusi antara pemerintah dan perusahaan tambang raksasa. Karena bermodal aturan tersebut, perusahaan-perusahaan tambang lain sebagai kompetitor akan tersingkir, juga akan meminimalisasi wilayah dan pelaku lelang Kontrak Karya atau PKP2B.
Terendusnya potensi kolusi tersebut secara terang benderang mendurhakai Amanat Reformasi '98 yang menegaskan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang dianggap sebagai trisula penyebab kemunduran bangsa ini.
Secara konstitusional, berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 (yang tetap dipertahankan berdasarkan hasil Amendemen ke-4) yang menyatakan bahwa "cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" (Pasal 33 Ayat 2) dan "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" (Pasal 33 Ayat 3), UU Minerba yang baru jelas jauh dari amanat berdikari dari para pendiri bangsa (founding fathers) yang menjadi esensi "ayat keramat" tersebut, yang konon merupakan buah pemikiran Bung Hatta, sang dwitunggal proklamator kemerdekaan Indonesia.
Secara ideologis, sebagaimana amanat Ayat 33 tersebut, ekonomi tidak dapat ditempatkan sebagai ideologi, apalagi pada hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Penguasaan negara terhadap bumi, air, dan segala kekayaan di dalamnya dalam konteks ini haruslah bertujuan demi terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, rasionalitas ideologi tidak boleh terpasung pada logika ekonomi semata, karena perwujudan gambaran kolektif ideal kita sebagai sebuah bangsa jauh lebih penting daripada kalkulasi ekonomi.
Sementara itu, sangatlah wajar jika ekonomi diposisikan sebagai ideologi sementara melalaikan satu hal penting yakni logika pasar dan persainga bebas merupakan rasionalitas ideologi kapitalisme liberal.Â
Anggapan yang memposisikan ideologisasi ekonomi sebagai kewajaran akan mempersempit ragam nasionalisme alternatif kita, bahkan meruntuhkan kritisisme dan objektivitas metodologis menyeluruh, karena telah menganggapnya sebagai semacam "metabahasa" (Parekh: 2003). Inilah yang disebut Parekh sebagai false consciousness atau kesadaran palsu.
Suatu kesadaran palsu yang juga menjangkiti para politisi negeri ini bahwa seakan mereka, yang notabene jabatan mereka saat ini adalah hasil perjuangan Reformasi '98, telah bekerja, bekerja, dan bekerja untuk rakyat sesuai Amanat Reformasi '98, namun justru menebar harapan palsu akan kesejahteraan rakyat.
Alih-alih menerbitkan harapan perbaikan negeri, para politisi itu sejatinya menghabisi Amanat Reformasi satu demi satu secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Jakarta, 14 Mei 2020
Baca Juga:Â Pekerja U-45 Tumbal Perdamaian dengan Corona?