Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

5 Mitos Pembunuh Mimpi Penulis

10 Mei 2020   21:47 Diperbarui: 10 Mei 2020   22:03 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mitos/Sumber: infomuda.id

Bahkan seorang jurnalis atau wartawan seperti Najwa Shihab dan Goenawan Mohammad pun punya hak untuk menulis buah pikiran atau pendapat pribadinya secara bebas dalam bentuk esai.

Dalam genre kepenulisan, esai adalah bentuk tulisan yang memungkinkan seseorang menuangkan isi kepala dan isi hatinya secara leluasa, tanpa harus khawatir dituding tendensius atau berpihak. Kecuali oleh orang-orang yang awam atau kurang banyak membaca.

Goenawan Mohammad (GM) yang seorang jurnalis dan pendiri majalah Tempo dikenal dengan esai-esai briliannya bertajuk Catatan Pinggir yang telah diterbitkan berseri-seri berdasarkan kumpulan esai mingguan di majalah yang pernah dibredel di era Orde Baru tersebut.

Jika ada yang masih saja cupet berpikir bahwa menulis itu harus netral dan berimbang, cobalah perluas wawasan dengan membaca Catatan Pinggir dan banyak bahan bacaan lainnya.

Dalam kerangka jumud seperti itu, esai-esai GM dan Gus Dur di majalah Tempo semasa Orba, dan juga esai Amien Rais di rubrik Resonansi harian Republika jelang Reformasi '98, yang dicatat sejarah sebagai penggerak perubahan, mungkin sudah dianggapnya "sampah peradaban".

Keluasan wawasan akan membuat kita tidak berpikir seluas tempurung kelapa yang mengungkung kita, dan membuat penilaian sempit sebatas batok kelapa tersebut alih-alih seluas isi batok kepala kita sebagaimana semestinya.

Mitos kelima: Menulis itu bukan mengompilasi dan harus berdasarkan data primer

Jika ada penulis atau Kompasioner yang berpendapat bahwa menulis itu bukanlah mengompilasi dan harus berdasarkan data primer, barangkali harus belajar memperluas wawasannya dari Hamka, salah seorang sastrawan besar Indonesia yang juga mantan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang telah menghasilkan puluhan buku dengan mahakarya Tafsir Al-Azhar dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Cover buku
Cover buku "Tasawuf Modern" karya Buya Hamka/Sumber: Dokpri - Nursalam AR

Hamka, tepatnya Prof. Dr. K.H. Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), dalam pengantar tetralogi Tasawuf Modern, menuliskan, "...Kita pertautkan di sana dan di sini. Kita rekat dengan pemikiran sendiri. Kita kumpulkan kata si anu dan si fulan, lalu kita namai dia tulisan kita laksana perkataan Imam Fakhruddin Al-Razi yang masyhur, 'Tidaklah ada yang kita dapatkan selama umur kita ini selain dari mengumpulkan kata si fulan dan si anu'. Kalau mengumpulkan dan mempertautkan sudah boleh dinamai tulisan, kalau memasukkan pemikiran dan penderitaan kita sendiri itu barang sedikit sudah bernama gubahan, maka bolehlah pembaca sebut 'Tasawuf Modern' ini gubahan atau tulisan kita."

Mengumpulkan dan menautkan, sebagaimana perkataan Hamka tersebut di atas, sejatinya adalah mengompilasi. Terlarangkah itu dalam menulis? Tidak, hanya orang snobbish dan picik yang berpandangan demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun