Jumlah sebesar itu sudah cukup untuk membiayai kursus bahasa Inggris saya di salah satu lembaga kursus bahasa Inggris di Jakarta yang tarifnya 30 ribu rupiah per bulan. Dengan kurs dolar Amerika Serikat yang masih dua ribu rupiah, saat itu masih banyak camilan atau barang yang dapat dibeli seharga 25 rupiah, cukup makmurlah saya untuk ukuran pelajar SMP.
Ada beberapa rekan saya yang kepincut ingin menulis. Mulailah mereka belajar menulis.
Saat itu kami belum mengenal komputer apalagi laptop, yang ada mesin (ke)tik. Agak payah awalnya membimbing mereka yang bahkan untuk tata bahasa dasar saja belum paham.
Namun, dengan kerja keras, salah seorang dari mereka berhasil juga dimuat tulisannya. Mustakim, namanya. Ia senang betul saat tiga tulisan humornya dimuat sekaligus. Sangat lumayanlah untuknya yang anak seorang pemilik warung kecil.
Hal-hal serupa selanjutnya, bertahun-tahun kemudian, saya temui ketika saya mulai menjadi trainer (pelatih) atau motivator kepenulisan.
Alhasil, apa yang saya tuliskan ini bukanlah sekadar teori atau hasil lamunan melantur yang tak tentu juntrungan, namun sudah berdasarkan pengalaman empiris yang, meminjam istilah komedian Tukul, merupakan "kristalisasi keringat" dan pengalaman saya selama 30 tahun menulis.
Mitos kedua: Menulis itu sulit
Sewaktu saya masih aktif di Forum Lingkar Pena (FLP), suatu organisasi penulis berskala nasional, tepatnya menjadi pengurus cabang DKI Jakarta pada periode 2005-2007, saat membimbing para anggota baru, banyak keluhan mendasar dari mereka, seperti "menulis itu pasti sulit ya, apa mungkin saya bisa?" atau "saya suka membaca tapi ingin sekali menulis, lalu apa mungkin tulisan saya bagus?"
Pertanyaan yang kurang lebih sama juga muncul ketika saya dan teman-teman penulis mengadakan roadshow pelatihan kepenulisan untuk anak dan remaja dhuafa di kawasan pelabuhan di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, biasanya saya mengadakan simulasi menulis cepat. Para peserta diminta memikirkan satu ide selama sekian menit, dan diminta menuliskannya dalam beberapa kalimat dalam waktu sekian menit. Atau, sebagai variasi, saya minta mereka amati sekeliling mereka, dan tuliskan apa saja mengenai yang terlintas di pikiran mereka.
Tekanan batas waktu atau tenggat (deadline) akan memaksa otak bekerja ekstra, mengerahkan kemampuan terbaiknya. Inilah yang mendasari adanya teori the power of kepepet, kekuatan tak terduga di saat adanya kesulitan yang menghadang. Itulah yang diperlukan untuk menghajar mental block atau writer's block dalam menulis.