Didi Kempot, sang penyanyi campursari yang dijuluki "The Godfather of Broken Heart" atau "Bapak Patah Hati Nasional", kali ini benar-benar membuat para penggemarnya patah hati untuk selamanya. Bukan dengan rilis lagu terbarunya, tapi dengan kematiannya pada Selasa, 5 Mei 2020 karena henti jantung di Solo, Jawa Tengah.
Praktis, para penggemar Didi Kempot yang disebut Sobat Ambyar berduka total. Wis ambyar...
Didi Kempot, yang juga adik kandung Mamiek Prakoso (pelawak Srimulat) dan putera musisi Ranto Edi Gudel, tidak hanya meninggalkan sekitar 800 tembang campursari, yang mayoritas berbahasa Jawa, tetapi juga meninggalkan warisan bagi khazanah bahasa Indonesia, yang terdapat dalam KBBI, yakni kata "ambyar".
Kata "ambyar" sendiri memang bukan diciptakan oleh sang seniman kelahiran 53 tahun lalu itu, namun Didi Kempot berjasa membangkitkan kembali popularitas kata tersebut di tengah masyarakat Indonesia lewat tembang berjudul Ambyar pada 2019.
Kendati lirik lagu Ambyar karya Didi Kempot sepenuhnya berbahasa Jawa, namun judul lagu itu yakni "ambyar" ternyata dapat ditemui dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang disusun oleh Pusat Bahasa -- Departemen Pendidikan Nasional, setidaknya pada KBBI edisi keempat (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011).
"Ambyar" yang diserap dari bahasa Jawa didefinisikan dalam KBBI sebagai "bercerai-berai; berpisah-pisah; tidak terkonsentrasi lagi".
"Ambyar" dan kata-kata serapan bahasa Jawa
Sama seperti kata-kata serapan bahasa Jawa lainnya, seperti "mudik", "mbeling" atau "ngoko", yang umumnya ditandai dengan kode "cak" dalam KBBI (yang berarti "percakapan"), demikian juga dengan "ambyar". Itu artinya kata-kata tersebut merupakan ragam bahasa percakapan atau lisan.
Namun hal itu tidak berarti kata-kata tersebut berkasta lebih rendah. Bahkan bisa jadi kata-kata serapan tersebut justru lebih populer di tengah masyarakat pengguna bahasa Indonesia alih-alih kata-kata yang tidak bertanda "cak".
Dalam konteks popularitas kata, jasa Didi Kempot mengangkat kata "ambyar" sejatinya sama dengan kontribusi sang Diva Pop Ruth Sahanaya, yang karib dipanggil Uthe, yang mempopulerkan kata "amburadul" lewat lagu tenarnya berjudul Amburadul pada 1989.
"Amburadul" dalam KBBI didefinisikan sebagai "centang perenang; berantakan; porak-poranda".
Dan jasa para seniman tersebut tentu tak layak dikesampingkan dalam memperkaya khazanah bahasa Indonesia lewat kata-kata bahasa daerah yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam catatan Remy Sylado dalam bukunya berjudul 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2003), para seniman lainnya, baik yang orang Jawa asli maupun lekat dengan budaya dan bahasa Jawa, juga turut berjasa mengangkat kata-kata bahasa Jawa melalui karya-karya mereka.
Antara lain, lewat kumpulan cerpen Kado Istimewa (1992), yang merupakan antologi cerpen yang dimuat di Harian Kompas, Yanusa Nugroho (penutur jati bahasa Jawa) mengangkat kata "dihapukan", "rengeng", "semringah", dan "guyub" dalam salah satu cerpen dalam antologi tersebut.Â
Sementara Putu Wijaya, orang Bali dari Yogyakarta, mengangkat "nrimo", "kere", dan "udel". Dan dalam pengantar antologi tersebut, budayawan Subagio Sastrowardoyo, yang juga kakek dari aktris Dian Sastrowardoyo, mempopulerkan kata "wong cilik" dalam esai pengantarnya untuk kumcer tersebut.
Menurut Remy Sylado yang menggunakan nama pena Alif Danya Munsyi dalam buku setebal 164 halaman itu, berkibarnya kata-kata serapan bahasa Jawa dalam khazanah bahasa Indonesia itu berpangkal pada keberanian Bung Karno (putera Jawa Timur yang berdarah Bali) yang sering menggunakan kata-kata bahasa Jawa dalam pidato-pidatonya.
Termasuk ketika berpidato menerangkan asas Pancasila dalam pidato tanpa teksnya di depan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Juni 1945, Bung Karno antara lain menggunakan kata-kata "njelimet", "karyo" (yang dieja "karya"), "gawe" (yang dieja "gawai"), dan "neko-neko".Â
Kabarnya kata-kata itu sengaja digunakan sang orator besar tersebut karena memang tidak tersedia dalam khazanah bahasa Melayu, yang merupakan bahasa administratif Hindia-Belanda saat itu.
Dan "njelimet" pun diserap oleh bahasa Indonesia menjadi "jelimet" yang berarti "sampai atau mengenai hal yang sekecil-kecilnya". Demikian juga "karya" dan "gawai" (yang membentuk kata "pegawai"), serta "neko-neko" yang berarti "berbuat yang aneh-aneh (macam-macam".
Sejarah dan khazanah bahasa Indonesia pun mencatat jasa besar sang Bung Besar. Demikian juga dengan jasa Didi Kempot, sang seniman besar.
Selamat jalan, Lord Didi...
Jakarta, 5 Mei 2020
-----------
Baca Juga:Â Kriminalisasi Ravio Patra dan Said Didu, Kisah Orba Jilid 2?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H