"Amburadul" dalam KBBI didefinisikan sebagai "centang perenang; berantakan; porak-poranda".
Dan jasa para seniman tersebut tentu tak layak dikesampingkan dalam memperkaya khazanah bahasa Indonesia lewat kata-kata bahasa daerah yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam catatan Remy Sylado dalam bukunya berjudul 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2003), para seniman lainnya, baik yang orang Jawa asli maupun lekat dengan budaya dan bahasa Jawa, juga turut berjasa mengangkat kata-kata bahasa Jawa melalui karya-karya mereka.
Antara lain, lewat kumpulan cerpen Kado Istimewa (1992), yang merupakan antologi cerpen yang dimuat di Harian Kompas, Yanusa Nugroho (penutur jati bahasa Jawa) mengangkat kata "dihapukan", "rengeng", "semringah", dan "guyub" dalam salah satu cerpen dalam antologi tersebut.Â
Sementara Putu Wijaya, orang Bali dari Yogyakarta, mengangkat "nrimo", "kere", dan "udel". Dan dalam pengantar antologi tersebut, budayawan Subagio Sastrowardoyo, yang juga kakek dari aktris Dian Sastrowardoyo, mempopulerkan kata "wong cilik" dalam esai pengantarnya untuk kumcer tersebut.
Menurut Remy Sylado yang menggunakan nama pena Alif Danya Munsyi dalam buku setebal 164 halaman itu, berkibarnya kata-kata serapan bahasa Jawa dalam khazanah bahasa Indonesia itu berpangkal pada keberanian Bung Karno (putera Jawa Timur yang berdarah Bali) yang sering menggunakan kata-kata bahasa Jawa dalam pidato-pidatonya.
Termasuk ketika berpidato menerangkan asas Pancasila dalam pidato tanpa teksnya di depan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Juni 1945, Bung Karno antara lain menggunakan kata-kata "njelimet", "karyo" (yang dieja "karya"), "gawe" (yang dieja "gawai"), dan "neko-neko".Â
Kabarnya kata-kata itu sengaja digunakan sang orator besar tersebut karena memang tidak tersedia dalam khazanah bahasa Melayu, yang merupakan bahasa administratif Hindia-Belanda saat itu.
Dan "njelimet" pun diserap oleh bahasa Indonesia menjadi "jelimet" yang berarti "sampai atau mengenai hal yang sekecil-kecilnya". Demikian juga "karya" dan "gawai" (yang membentuk kata "pegawai"), serta "neko-neko" yang berarti "berbuat yang aneh-aneh (macam-macam".
Sejarah dan khazanah bahasa Indonesia pun mencatat jasa besar sang Bung Besar. Demikian juga dengan jasa Didi Kempot, sang seniman besar.
Selamat jalan, Lord Didi...