Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terbit Pandemi, Haruskah Empati Menepi?

3 Mei 2020   23:41 Diperbarui: 3 Mei 2020   23:41 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spanduk penolakan pemakaman korban COVID-19, bukti defisitnya empati/Sumber: rmol.id

Pandemi global COVID-19 yang turut menerjang Indonesia membawa banyak perubahan besar dalam banyak aspek kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah perihal empati.

Jika sekadar berucap iba atau kasihan kepada seseorang yang menderita, itu baru sebatas simpati. Namun, jika ucapan iba atau kasihan di lisan itu turun ke hati dan membuat kita merasa serasa berada di posisi orang yang menderita tersebut, itulah namanya empati.

Ada pepatah suku Indian Amerika Serikat yang terjemahan versi bahasa Inggrisnya berbunyi: "You will never understand another person until you have walked in his moccasins for two moons."

Kamu tidak akan pernah memahami orang lain sampai kamu telah merasakan berjalan dengan mokasin (sepatu bulu khas suku Indian) miliknya selama dua purnama. Kurang lebih demikian maksudnya.

Kutipan kata bijak lainnya mengatakan, "Treat others as you yourself wants to be treated."

Perlakukanlah orang lain sebagaimana dirimu sendiri menginginkan diperlakukan serupa.

Itulah empati, menempatkan posisi kita dalam posisi seseorang, sehingga derita yang dirasakannya juga menjadi derita kita. Kesadaran empatiklah yang mendorong kita merogoh kocek kita, yang mungkin juga agak kering karena terdampak pandemi, untuk membantu para korban terdampak COVID-19 atau membeli perangkat Alat Pelindung Diri (APD) untuk para petugas medis sebagai benteng terakhir terhadap serbuan COVID-19.

Andai kita berempati, dan merasakan duka seorang ibu perawat yang kehilangan puterinya karena COVID-19, tentulah kita tidak akan menolak jenazahnya tersebut hanya karena egoisme dan paranoia kita.

Beberapa penolakan serupa merebak di mana-mana, mulai dari Depok, Semarang, Solo, Mojokerto, Banyuwangi hingga Sulawesi.

Andai kita punya rasa empati yang kuat, tentulah kita tidak akan santuy keluyuran keluar rumah tanpa tujuan jelas dan melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sehingga justru menjadikan kita sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG) alias carrier yang menjadi perantara virus berbahaya tersebut bagi keluarga dan orang-orang tercinta di rumah kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun